TEMPO.CO, Jakarta - Ibu negara Amerika Serikat, Melania Trump, menyampaikan simpatinya kepada para korban pandemi virus Corona di tengah Konvensi Nasional Republikan, Selasa kemarin waktu setempat. Selain itu, juga menyinggung isu rasisme yang tengah menjadi sorotan di Amerika beberapa bulan terakhir.
"Saya ingin mengakui fakta yang ada bahwa hidup kita telah berubah drastis sejak Maret lalu," ujar Melania Trump, dikutip dari kantor berita Reuters, Selasa, 25 Agustus 2020.
"Simpati terdalam saya tujukan kepada semua yang telah kehilangan orang yang mereka sayangi. Saya juga berdoa untuk mereka yang sakit atau menderita...Saya ingin anda tahu: anda tidak sendiri," ujar Melania Trump menambahkan.
Dalam pidatonya, Melania Trump tidak lupa menyinggung kasus-kasus rasisme yang belum lama ini terjadi. Salah satunya adalah kasus George Floyd yang tewas setelah lehernya ditindih oleh Polisi Amerika. Hal itu, sebagaimana diketahui, memicu gerakan Black Lives Matter di Amerika dan upaya untuk mereformasi polisi.
Melania tak lupa menyinggung kasus penembakan Jacob Blake yang terjadi Ahad kemarin. Jacob Blake adalah warga Kenosha, Wisconsin yang ditembak Polisi Amerika tujuh kali usai berdebat. Meski nyawa Jacob Blake terselamatkan, ia terancam lumpuh total selamanya karena salah satu peluru menyasar ke syaraf tulang belakang.
Walau mengecam kasus-kasus rasisme dan kekerasan terhadap warga, Melania Trump meminta warga untuk tidak meresponnya dengan kekerasan juga. Ia mengatakan, kekerasan dan penjarahan atas nama keadilan tidak akan menyelesaikan masalah yang ada.
“Saya mendorong orang-orang untuk berkumpul bersama secara sipil sehingga kita dapat bekerja dan memenuhi standar cita-cita Amerika kita,” kata Melania Trump.
Isu yang dibawa oleh Melania Trump tersebut tak ayal membuat hari kedua Konvensi Nasioanl Republikan terasa berbeda. Di hari pertama, konvensi tersebut tidak menyebar pesan harapan, tetapi rasa takut atas apa yang akan terjadi jika Joe Biden menjadi Presiden Amerika.
Kehadiran Melania Trump dengan pidatonya yang lebih sensitif sepertinya menjadi strategi Republikan untuk mempengaruhi blok suara kritis menjelang Pilpres Amerika. Sebagaimana diketahui, Donald Trump, untuk saat ini, masih kuat di suara konservatif saja.
FERDINAND ANDRE | REUTERS