TEMPO.CO, Wina – Kepala Lembaga pengawas nuklir dari Perserikatan Bangsa – Bangsa atau PBB yaitu IAEA, Rafael Grossi, bakal mengunjungi Ibu Kota Teheran untuk membahas akses ke instalasi nuklir Iran pada Senin pekan depan.
Grossi bakal menekan pemerintah Iran untuk membuka akses bagi inspektur agar bisa memasuki dua bekas instalasi nuklir. Ini terjadi setelah Iran dan IAEA mengalami kebuntuan soal akses ini selama beberapa bulan.
“Tujuan saya adalah melakukan pertemuan di Teheran untuk mendapatkan kemajuan kongkrit untuk menjawab pertanyaan IAEA terkait pengamanan (nuklir) di Iran terutama menyangkut isu akses,” kata Grossi seperti dilansir Reuters pada Sabtu, 22 Agustus 2020.
Grossi menjadi kepala IAEA atau Lembaga Energi Atom Internasional sejak Desember 2019. Pada Juni, IAEA yang beranggotakan sekitar 35 negara, menekan Teheran terkait nuklir Iran untuk mengizinkan inspektur memasuki dua lokasi bekas instalasi nuklir. Alasannya, kedua instalasi itu masih bisa menyimpan material atau jejak material nuklir.
IAEA mengatakan Grossi bakal bertemu dengan pejabat tinggi Iran meski tidak disebutkan namanya.
Sejumlah diplomat di Wina mengatakan mereka berharap kebuntuan antara Iran dan IAEA soal akses itu bisa selesai sebelum rapat Dewan Gubernur IAEA pada September.
“Kami berharap kunjungan ini bakal meningkatkan kerja sama mutualisme,” kata Kazem Garibabadi, duta besar Iran untuk IAEA.
Isu nuklir Iran kembali mengemuka setelah negara mullah ini meningkatkan pengayaan uranium dari sekitar lima persen menjadi 20 – 25 persen pada 2019.
Kepala IAEA, Rafael Grossi. Reuters
Iran melakukan ini setelah AS menarik diri dari Perjanjian Nuklir Iran 2015, yang didukung sejumlah negara besar seperti Jerman, Rusia, Inggris, Prancis, dan Cina.
AS, seperti dilansir Channel News Asia, mencoba meminta Dewan Keamanan PBB atau DK PBB untuk mengenakan sanksi kembali kepada Iran pada sidan Jumat kemarin karena pelanggaran ini.
Namun, sejumlah negara dikabarkan menolak permintaan diplomat AS itu karena Presiden Donald Trump telah menarik diri negaranya dari perjanjian nuklir Iran pada 2018. AS dianggap bukan sebagai partisipan dalam perjanjian itu lagi. Trump menyebut perjanjian itu sebagai kesepakatan terburuk.