TEMPO.CO, Jakarta - Departemen Kehakiman AS meminta Mahkamah Agung meninjau kembali putusan yang melarang Twitter Donald Trump memblokir pengguna Twitter lain.
Pemerintahan Trump berpendapat dalam pengajuan banding pada Kamis, bahwa halaman Twitter @realdonaldtrump presiden adalah milik pribadi, dan mengklaim bahwa memblokir orang-orang tertentu mampu mencegah lawan politik menyampaikan kampanye terselubung.
"Kemampuan Presiden Trump untuk menggunakan fitur-fitur akun Twitter pribadinya, termasuk fungsi pemblokiran, bersifat independen dari kantor kepresidenannya," tegas Jaksa Agung Jeffery Wall, dikutip dari Sky News, 21 Agustus 2020.
Trump kalah dalam gugatan pada Mei 2018 atas nama pengguna Twitter dan setuju untuk membuka blokir akun tersebut. Trump telah menjadikan akun @RealDonaldTrump miliknya, yang ia buat pada 2009, sebagai bagian sentral dan kontroversial dari kepresidenannya.
Trump sering menggunakan akun Twitter-nya untuk menyerang para kritikus dan untuk mempromosikan agendanya kepada lebih dari 85 juta pengikut Twitter-nya.
Dikutip dari Reuters, pada Juli Knight First Amendment Institute di Columbia University mengajukan gugatan baru di Pengadilan Distrik AS di Manhattan atas nama lima individu tambahan yang tetap diblokir oleh Trump. Kelompok tersebut mendesak Mahkamah Agung untuk tidak menerima banding dari Departemen Kehakiman.
"Kasus ini berdiri untuk prinsip yang fundamental bagi demokrasi kita dan pada dasarnya identik dengan Amandemen Pertama: pejabat pemerintah tidak dapat mengecualikan orang dari forum publik hanya karena mereka tidak setuju dengan pandangan politik mereka," kata Jameel Jaffer, direktur eksekutif Knight Institute .
Departemen Kehakiman mengatakan "dengan mengabaikan perbedaan kritis antara pernyataan resmi presiden (terkadang) di Twitter dan keputusan pribadinya yang selalu memblokir responden dari akunnya sendiri, pendapat tersebut mengaburkan batas antara tindakan negara dan perilaku pribadi."
Pengadilan banding federal pada Juli 2019 menguatkan putusan tersebut dan Pengadilan Banding AS pada Maret menolak untuk membatalkan putusan itu.
"Amandemen Pertama tidak mengizinkan pejabat publik yang menggunakan akun media sosial untuk segala macam tujuan resmi untuk mengecualikan orang dari dialog online yang terbuka karena mereka menyatakan pandangan yang tidak disetujui pejabat tersebut," tulis Hakim Pengadilan Banding Barrington Parker.
Trump pada Mei menyerang Twitter karena menandai twit-nya setelah mengklaim tanpa bukti adanya kecurangan pencoblosan pilpres AS via pos.
FERDINAND ANDRE | SKY NEWS | REUTERS