TEMPO.CO, Jakarta - Mantan juru bicara Kementerian Luar Negeri Sudan mengatakan pada Kamis bahwa dia tidak menyesali adanya pembicaraan normalisasi hubungan Israel dan mengklaim hubungan kedua negara sudah erat sebelum Uni Emirat Arab.
"Saya tidak menyesal sama sekali," kata Haidar Badawi Sadiq kepada televisi Israel, Kan.
Sadiq dipecat pada Rabu, sehari setelah dia memicu kekacauan diplomatik dengan secara terbuka mengungkapkan pembicaraan normalisasi dengan Israel, yang tampaknya diungkapkan tanpa izin dari menteri luar negeri Sudan, menurut Times of Israel, 21 Agustus 2020.
Sadiq mengungkapkan rencana itu kepada Sky News Arabia pada Selasa. "Sudan mengharapkan kesepakatan damai dengan Israel...hubungan yang setara dibangun di atas kepentingan Khartoum," katanya.
"Tidak ada alasan permusuhan berlanjut. Kami tidak menyangkal komunikasi antara kedua negara," kata Sadiq.
Pengumuman tersebut disambut oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang bertemu dengan pemimpin transisi Sudan awal tahun ini dalam terobosan diplomatik setelah bertahun-tahun bermusuhan, menurut laporan Times of Israel, 21 Agustus 2020.
Kementerian Luar Negeri Sudan memecat Haidar Badawi Sadiq pada Rabu setelah pernyataan tersebut.
Menteri Luar Negeri Sudan, Omar Qamar al-Din Ismail, pada Selasa malam membantah mengetahui pembicaraan damai dengan Israel dan mengatakan Sadiq tidak berwenang untuk mengomentari masalah tersebut.
Omar Qamar al-Din Ismail, yang menjabat di kabinet transisi pada Juli, mengatakan pemerintah terkejut dengan klaim juru bicaranya bahwa Khartoum dan Yerusalem mendekati rekonsiliasi.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Sudan yang diberhentikan Haidar Badawi al Sadiq.[Anadolu Agency]
Berbicara kepada Kan, Sadiq mengatakan dia telah bosan dengan pembicaraan dengan Israel hanya dikonfirmasi oleh sumber luar dan setelah dia diminta oleh wartawan lokal untuk mengomentari klaim Menteri Intelijen Eli Cohen bahwa hubungan resmi dapat ditandatangani dua negara pada akhir tahun. Saqid memutuskan bahwa dia tidak bisa lagi diam.
Sadiq mengaku menerima pengunduran dirinya dan meyakini yang penting isu tersebut sudah masuk dalam agenda nasional.
"Kami perlu bertindak untuk menciptakan wacana publik tentang masalah ini, sehingga pembicaraan berlangsung di depan umum," katanya kepada Kan.
Sadiq mengatakan dia tidak mengerti mengapa komentarnya menyebabkan keributan seperti itu, mengklaim bahwa Sudan telah memulai hubungan yang hangat dengan Israel sebelum UEA melakukannya.
Sadiq mengklaim bahwa pemerintah Sudan baru-baru ini telah memberikan bantuan dalam membawa sekelompok orang Yahudi Falash Mura dari Ethiopia ke Israel.
Eks jubir bersikeras bahwa negara-negara itu masih menuju ke arah hubungan yang dinormalisasi terlepas dari peristiwa minggu lalu, dengan bukti bahwa Khartoum tidak membantah kontaknya dengan Yerusalem.
Pejabat Sudan mengatakan pembicaraan dengan pejabat Israel telah berlangsung selama beberapa bulan dengan bantuan Mesir, Uni Emirat Arab, dan Amerika Serikat, Times of Israel melaporkan.
"Kita harus berani, seperti Presiden al-Burhan yang bertemu dengan Netanyahu dan seperti para pejabat senior di UEA," kata Sadiq. "Saya sangat mendukung perdamaian dengan Israel karena itu akan menguntungkan Sudan."
Pada Februari, Burhan bertemu secara diam-diam dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di Uganda, sebuah pertemuan yang segera dibantah oleh Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok.
Pada saat itu, seorang pejabat senior Israel mengatakan bahwa Burhan dan Netanyahu telah setuju untuk secara bertahap menormalkan hubungan antara kedua negara, yang secara teknis masih dalam keadaan perang.
Menanggapi pernyataan Sadiq pada Selasa, seorang anggota Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) berpangkat tinggi pada Selasa menyesalkan minat Sudan untuk normalisasi dengan Israel.
"Di manakah orang-orang revolusioner yang hidup di Sudan?" tanya pejabat senior PLO Hanan Ashrawi.
Sudan, sebuah negara Afrika dengan mayoritas Muslim, baru saja diguncang reformasi politik yang menggulingkan mantan presiden otokratis Omar al-Bashir pada April 2019. Pemerintah sipil-militer sekarang memerintah Sudan, dengan pemilihan umum kemungkinan digelar pada 2022.
Negara-negara Arab memberi syarat kepada Israel untuk mengakui negara Palestina dan melepas wilayah yang direbut pada 1967, jika ingin berdamai dengan mereka. Tetapi perjanjian UEA tampaknya menandai perubahan dramatis, di mana perdamaian Arab-Israel dapat mendahului kesepakatan dengan Palestina. Dengan Sudan, perubahan itu akan mendapatkan bobot simbolis, mengingat Sudan sebagai kelahiran Resolusi Khartoum dengan kebijakan "Three Nos" atau "Tiga Kata Tidak" yang dideklarasikan Liga Arab pada 1967 untuk mendukung perjuangan Palestina, dengan menyatakan tidak ada perdamaian dengan Israel, tidak ada pengakuan atas Israel, dan tidak ada negosiasi dengan Israel.