TEMPO.CO, Jakarta - Sebagian area pelabuhan Beirut telah beroperasi kembali demi mengamankan barang-barang yang harus dikirim ke pasar lokal. Pengoperasian itu dilakukan sepekan setelah musibah ledakan bahan kimia yang memicu kemarahan publik dan memperburuk krisis politik di Lebanon.
Ledakan dahsyat itu terjadi pada 4 Agustus 2020, yang mengejutkan masyarakat Ibu Kota Beirut, Lebanon dan merusak lingkungan sekitar. Diperkirakan sekitar 2.760 ton ammonium nitrat yang disimpan di gudang pelabuhan, lalu terbakar dan meledak.
“Ada sektiar 12 crane dari total 16 crane, yang beroperasi di pelabuhan Beirut,” kata Raoul Nehme, Menteri Ekonomi Lebanon, Rabu, 12 Agustus 2020, seperti dikutip dari aljazeera.com.
Seorang demonstran mengibarkan bendera Lebanon di depan polisi anti huru hara selama protes di Beirut, Lebanon, 8 Agustus 2020. [REUTERS / Goran Tomasevic]
Dia menjelaskan ada stok tepung terigu sekitar 32 ribu ton dan tambahan stok terigu 110 ribu ton akan masuk ke pelabuhan itu dalam dua pekan ke depan. Jumlah tersebut, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam empat bulan ke depan.
Musibah meledaknya gudang penyimpan ammonium nitrat itu terjadi persis saat Lebanon sedang menghadapi krisis keuangan dan pandemik virus corona. Musibah ini memancing kemarahan publik, di mana aksi protes yang dilakukan telah melukai 728 orang dan satu aparat kepolisian tewas pada Sabtu, 8 Agustus 2020.
Sumber di Pemerintah Lebanon mengatakan ledakan ini menyebabkan kerugian US$ 15 miliar atau Rp 222 trilun, yang memperparah krisis keuangan Lebanon. Presiden Lebanon Michel Aoun berjanji dilakukannya investigasi yang cepat dan transparan atas ledakan bahan kimia di pelabuhan Beirut tersebut. Bakal ada upaya pembuktian apakah musibah tersebut akibat kelalaian atau faktor eksternal.