TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Lebanon Hassan Diab mengumumkan pengunduran diri pemerintahannya pada Senin setelah ledakan di Beirut pekan lalu memicu protes anti-pemerintah.
Hassan Diab, dalam pidatonya di televisi, mengatakan ledakan material eksplosif yang disimpan di gudang di pelabuhan di ibu kota selama tujuh tahun terakhir adalah hasil korupsi endemik.
"Hari ini kami mengikuti keinginan masyarakat atas tuntutan mereka untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab atas bencana yang telah bersembunyi selama tujuh tahun, dan keinginan mereka untuk perubahan nyata," kata Diab, seperti dikutip dari Reuters, 11 Agustus 2020.
"Dalam menghadapi kenyataan ini ... Saya hari ini mengumumkan pengunduran diri pemerintah ini," tegasnya.
Kabinet telah berada di bawah tekanan untuk mundur karena ledakan pekan lalu yang menewaskan 163 orang, melukai sekitar 6.000 orang, dan menyebabkan sekitar 300.000 orang kehilangan tempat tinggal. Tiga menteri telah mengundurkan diri pada Ahad sebelum pengumuman Diab.
Presiden Michel Aoun menerima pengunduran diri Hassan Diab pada Senin dan meminta pemerintahan Diab untuk tetap mengurus pemerintahan sampai kabinet baru dibentuk, Al Jazeera melaporkan.
Ledakan di Beirut yang menewaskan sekitar 200 orang dan melukai 6.000 lainnya, menurut penghitungan terbaru, telah memancing amarah warga Lebanon dengan demonstrasi ricuh.
Protes akhir pekan menyebabkan 728 orang terluka dan seorang petugas polisi tewas ketika massa bentrok dengan petugas keamanan.
Seorang pengunjuk rasa melemparkan gas air mata ke arah polisi saat bentrokan setelah ledakan di pelabuhan Beirut, Lebanon, 9 Agustus 2020. Sejak unjuk rasa meletup pada Sabtu lalu, satu aparat kepolisian gugur dan ratusan orang luka-luka. REUTERS/Goran Tomasevic
Bencana 4 Agustus, yang disebabkan oleh amonium nitrat yang sangat eksplosif dan disimpan di pelabuhan Beirut selama lebih dari enam tahun, telah menyulut kemarahan rakyat dan menjungkirbalikkan politik di negara yang sudah bergumul dengan krisis ekonomi.
Mayoritas orang Lebanon menyalahkan korupsi pemerintahan dan pengabaian atas ledakan tersebut, yang telah menyebabkan kerusakan hingga sekitar US$ 15 miliar (Rp 219,7 triliun) dan separuh kota hancur.
Lebanon telah diguncang protes sejak Oktober, menuntut pengunduran diri kepemimpinan berbasis sektarian karena korupsi yang mengakar, ketidakmampuan, dan salah urus negara.
Tetapi oligarki yang berkuasa begitu lama, yakni sejak akhir perang saudara pada 1990, menyulitkan rakyat untuk menemukan tokoh politik yang kredibel yang tidak tercemar oleh koneksi dengan mereka.
Lebanon sudah mengalami krisis ekonomi terburuk dalam beberapa dekade, ditambah dengan meningkatnya krisis virus corona, dan pemerintah telah dibayangi oleh tuduhan korupsi dan salah urus.
Hassan Diab menduduki tampuk kekuasaan Desember lalu, dua bulan setelah pemberontakan rakyat menjatuhkan pemerintah Saad Hariri sebelumnya. Pemerintahannya terdiri dari para teknokrat dan telah didukung oleh partai-partai politik besar, termasuk kelompok politik dan militan yang didukung Iran, Hizbullah.
Sekarang Lebanon harus menemukan perdana menteri ketiganya dalam waktu kurang dari satu tahun untuk menyelesaikan krisis Lebanon di sejumlah bidang.