TEMPO.CO, Jakarta - Mahmoud Nawajaa, 33 tahun, aktivis HAM terkemuka di Palestina, ditahan oleh pasukan keamanan Israel pada Kamis pagi, 30 Juli 2020. Nawajaa bekerja untuk komite gerakan Palestinian National Boycott, Divestment and Sanctions dengan jabatan sebagai Kepala Koordinator.
Dikutip dari middleeasteye.net, kabar penahanan Nawajaa disampaikan oleh saudaranya. Istri Nawajaa, Ruba Alayan mengatakan suaminya ditahan di rumahnya di desa Abu Qash, Tepi Barat sekitar pukul 3 dini hari.
“Sekitar 50 tentara ada di sana. Mereka mendobrak pintu dan menguncinya. Mereka menutup mata Mahmoud, memborgol tangannya, membawa komputernya dan beberapa barang pribadi lainnya,” kata Alayan.
Ilustrasi bendera Israel. Sumber: aa.com.tr
Alayan menceritakan, proses penahanan itu disaksikan oleh tiga anak mereka yang masih kecil. Mereka terbangun saat rumah mereka digeruduk oleh pasukan keamanan Israel dan ketakutan. Tidak dijelaskan alasan penahanan.
Penahanan Nawajaa dilakukan sehari sebelum Idul Adha. Sebelumnya pada Rabu malam, 29 Juli 2020, pasukan keamanan Israel dilaporkan menahan 17 orang warga Palestina lainnya.
Menurut Jamal Jumaa, anggota Boycott, Divestment and Sanctions, keberadaan Nawajaa belum diketahui. Penahanan Nawajaa diyakini bagian dari tindakan tegas Israel yang lebih luas pada warga Palestina yang melawan pendudukan Israel, baik itu lewat jalur kekerasan atau pun tidak.
Gerakan Boycott, Divestment and Sanctions didirikan pada 2005 untuk menekan Israel secara finansial karena telah melanggar hak-hak Palestina. Taktik ini didiskreditkan oleh Pemerintah Israel.
Selama bertahun-tahun, otoritas Israel telah meningkatkan upaya memerangi gerakan Boycott, Divestment and Sanctions dengan meloloskan beberapa undang-undang untuk mengkriminalisasi seruan boikot terhadap Israel atau perusahaan-perusahaan asal Negeri Bintang Daud itu.
Sebelumnya pada awal bulan ini, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berencana mengumumkan rencana untuk mencaplok sebagian besar wilayah Tepi Barat, Palestina, di mana tindakan ini dipandang sebagai hal yang ilegal di bawah undang-undang internasional. Detail aneksasi itu belum diungkap.