TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu peneliti senior di Institut Virologi Wuhan (WIV) menuntut Presiden AS Donald Trump meminta maaf karena menuduh lembaganya sebagai sumber virus corona.
Shi Zhengli, yang memimpin Pusat Penyakit Menular di Institut Virologi Wuhan, juga mengecam pemerintah AS karena menghentikan pendanaan untuk penelitian bersama dengan para ilmuwan AS.
Shi Zhengli mengatakan kepada majalah Science bahwa penyelidikan telah menolak klaim virus itu lolos dari laboratoriumnya, sebuah teori yang dipromosikan oleh beberapa pejabat AS, termasuk Trump sendiri.
Shi membantah bahwa dia atau anggota timnya telah melakukan kontak dengan virus Sars-CoV-2 sebelum terdeteksi di kota akhir tahun lalu. "Klaim Presiden AS Trump bahwa Sars-CoV-2 bocor dari kami institut benar-benar bertentangan dengan fakta."
"Ini membahayakan dan memengaruhi pekerjaan akademik dan kehidupan pribadi kita. Dia berutang permintaan maaf kepada kita."
Shi, yang dijuluki "Perempuan Kelelawar," memimpin kelompok yang mempelajari virus kelelawar di Institut Virologi Wuhan (WIV), di kota Wuhan, di Cina di mana pandemi dimulai, dikutip dari majalah Science, 27 Juli 2020.
Banyak yang berspekulasi bahwa virus yang menyebabkan COVID-19 secara tidak bocor dari labnya, teori yang dipromosikan oleh Presiden AS Donald Trump, dan beberapa bahkan menuduh virus itu bisa direkayasa di sana.
Cina telah dengan tegas menolak klaim semacam itu, tetapi Shi jarang tampil di publik untuk menyangkal klaim tersebut sampai 15 Juli kemarin.
Institut Virologi Wuhan.[ Li Hao/Global Times]
Pada 15 Juli, Shi merespons via email ke majalah Science tentang asal virus dan penelitian di lembaganya. Di dalamnya, Shi membalas spekulasi bahwa virus bocor dari WIV. Dia dan rekan-rekannya menemukan virus pada akhir 2019, katanya, dalam sampel dari pasien yang memiliki pneumonia yang tidak diketahui asalnya. "Sebelum itu, kami tidak pernah berhubungan atau mempelajari virus ini, kami juga tidak tahu keberadaannya," tulis Shi.
Shi menekankan bahwa selama 15 tahun terakhir, labnya telah mengisolasi dan membiakan hanya tiga virus corona kelelawar yang salah satunya terkait dengan infeksi manusia, yang kemudian dikenal dengan Sindrom Pernafasan Akut (SARS), yang pecah pada 2003.
Lebih dari 2000 virus kelelawar lain yang telah dideteksi laboratorium, termasuk 96,2% identik dengan SARS-CoV-2, yang berarti mereka memiliki asal-muasal yang sama beberapa dekade yang lalu, hanyalah rangkaian genetik yang telah diekstrak oleh timnya dari sampel tinja, cairan oral, dan anal dari binatang. Shi juga mencatat bahwa semua staf dan mahasiswa di labnya baru-baru ini diuji untuk SARS-CoV-2 dan semua orang negatif, membantah tuduhan bahwa kelompok orang yang terinfeksi dalam laboratorium telah memicu pandemi.
Shi juga kecewa dengan keputusan 24 April oleh Institut Kesehatan Nasional AS (NIH) yang dibuat atas perintah Gedung Putih, untuk menghentikan bantuan kepada Aliansi EcoHealth di New York City yang terlibat penelitian virus kelelawar di WIV. "Kami tidak mengerti itu dan merasa itu benar-benar tidak masuk akal," katanya.
Shi dan kepala aliansi itu, Peter Daszak, telah mempelajari bagaimana virus corona berpindah dari kelelawar ke manusia dan sejauh ini telah membuat beberapa penemuan penting.
Peter Daszak dari EcoHealth Alliance telah bekerja dengan Shi selama lebih dari 15 tahun
Sebuah penelitian pada 2005 yang Shi terbitkan di majalah Science bersama Daszak dan peneliti lain dari Cina, Australia, dan Amerika Serikat menjadi titik balik dalam kariernya.
Makalah ini melaporkan bukti pertama bahwa kelelawar memiliki virus corona yang berkaitan erat dengan virus mematikan yang melompat dari musang ke manusia dan menyebabkan SARS di seluruh dunia pada 2003.
Dengan pendanaan dari NIH, Daszak terus bekerja dengan Shi dan tim WIV-nya untuk menjebak hewan liar dan mengambil sampel untuk mencari lebih banyak virus corona. Mereka telah menerbitkan 18 makalah bersama tentang virus yang ditemukan pada kelelawar dan tikus.
Dikutip dari South China Morning Post, Shi membela penelitiannya dalam sebuah wawancara dengan media Cina pada bulan Mei setelah teori konspirasi memperoleh popularitas, termasuk klaim yang secara luas ditolak oleh para ilmuwan, bahwa virus corona telah direkayasa di laboratorium.
Tetapi Trump dan pejabat AS lainnya juga telah mempromosikan teori bahwa virus tersebut secara tidak sengaja bocor dari laboratorium tanpa memberikan bukti.
Asal-usul virus tetap tidak diketahui, meskipun para ilmuwan umumnya percaya itu berasal dari kelelawar dan melompat ke manusia melalui perantara.
Tetapi laboratorium keamanan tinggi Shi yang menangani patogen paling mematikan, menjadi sasaran spekulasi karena lokasinya di Wuhan.
Shi tidak yakin dari mana tepatnya virus itu berasal, tetapi menggemakan penelitian baru-baru ini yang mengatakan Pasar Makanan Laut Huanan, yang banyak kaitannya dengan pasien pertama, mungkin bukan asal pertama virus corona.
"Kami mendeteksi asam nukleat Sars-CoV-2 dalam sampel lingkungan dari sumber-sumber seperti pegangan pintu bergulir, tanah dan limbah di pasar itu, tetapi kami tidak mendeteksi asam nukleat Sars-CoV-2 dalam sampel hewan beku," katanya. "Pasar makanan laut Huanan mungkin hanyalah lokasi yang ramai di mana sekelompok pasien virus corona awal ditemukan."