TEMPO.CO, Jakarta - Pengusaha garmen di Cina terpaksa menjadi pedagang kaki lima pakaian karena virus corona telah membuat arus kas perusahaan macet dan stok pakaian menumpuk di gudang pabrik garmen miliknya.
Pemilik pabrik garmen di provinsi Guangdong, Huang Weijie, 44 tahun, menjual pakaian di jalan dengan mobilnya.
Sampai musim semi yang lalu, mereka yang beralih menjadi pedagang kaki lima untuk mencari nafkah sebagian besar adalah individu berpenghasilan rendah dan pengangguran. Tetapi karena pandemi telah berdampak pada pesanan ekspor dan penjualan domestik, mengakibatkan puluhan juta lapangan pekerjaan dalam bahaya, bahkan produsen kecil seperti Huang turun ke jalan untuk bertahan hidup.
"Saya berpikir untuk menutup pabrik (untuk selamanya), tetapi dukungan Li Keqiang untuk 'ekonomi pedagang kaki lima' mengilhami saya untuk mencoba cara baru ini." kata Huang, dilansir dari South China Morning Post, 21 Juli 2020.
Petugas manajemen perkotaan, pegawai negeri yang dikenal sebagai Chengguan, ditugaskan untuk mengusir pedagang dari jalanan. Dan pendekatan mereka yang keras sering kali menyebabkan perkelahian, dengan penjaja dipukuli atau barang dagangan mereka dihancurkan.
Tetapi bulan lalu, pemerintah tampaknya beralih sikap selama pandemi virus corona ketika Perdana Menteri Li Keqiang, pemimpin senior kedua Cina, memuji kota Chengdu di provinsi Sichuan karena "menciptakan 100.000 pekerjaan dengan mengizinkan 36.000 kios jalanan".
Namun, ada banyak perlawanan dari kota-kota metropolitan Cina yang lebih besar termasuk Beijing, Shanghai dan Shenzhen, di mana pemerintah setempat mengatakan ekonomi pedagang kaki lima tidak sesuai dengan rencana mereka.
Dengan dukungan Li Keqiang ini, Huang telah mengunjungi berbagai klaster kios di seberang Delta Sungai Pearl.
Berbeda dengan pedagang asongan yang menganggur, yang hanya memiliki sarana untuk mendirikan kios jalanan, Huang mengendarai Toyota putih, dengan terpal di bagasi dan berbagai pakaian berwarna-warni memenuhi mobil.
Dia membayar sewa untuk mendirikan sebuah kios di berbagai lingkungan di Guangzhou, ibu kota Guangdong, kemudian pindah ke Foshan seminggu kemudian, dan kemudian ke kota-kota regional lainnya seperti Dongguan dan Zhongshan.
Tetapi Huang mengakui sulit untuk mendirikan kios di pusat-pusat komersial kota-kota besar Guangdong seperti Guangzhou, Dongguan dan Shenzhen. Klaster kios umumnya ditemukan di kecamatan kota atau kota kecil di sekitar kawasan industri dan pabrik.
Huang telah menjalankan pabriknya lebih dari sepuluh tahun, tetapi wabah mengakibatkan persediaan produksi garmen di pabriknya menumpuk dan tidak terjual.
"Saya memiliki puluhan ribu pakaian, yang semuanya telah disimpan sejak akhir tahun lalu," kata Huang.
Huang pertama kali mencoba berjualan di pasar grosir dan toko-toko eceran Guangzhou, tetapi ia tidak banyak membantu. Setelah direstui Li Keqiang, Huang mulai menjajal apakah pasar jalanan yang muncul dapat membantunya menjual barangnya, dan mungkin menjadi salah satu cara agar arus kas stabil sehingga pabriknya terus beroperasi minimal akhir tahun ini, daripada menutup secara permanen.
Huang bukanlah pengusaha satu-satunya yang beralih jadi pedagang kaki lima. Sejumlah besar produsen kecil dari semua lini produk, mulai dari alas kaki ke pakaian hingga perkakas, terlepas dari apakah produk itu untuk ekspor atau untuk penjualan domestik, telah terpukul keras oleh dampak pandemi virus corona dan sekarang menghadapi krisis modal untuk melanjutkan operasional pabrik.