Periode perubahan signifikan berikutnya untuk Hagia Sophia dimulai kurang dari 200 tahun kemudian, ketika Ottoman (Utsmaniyah), dipimpin oleh Kaisar Fatih Sultan Mehmed, yang dikenal sebagai Mehmed sang Penakluk, merebut Konstantinopel pada tahun 1453. Ottoman mengganti nama kota Konstantinopel menjadi Istanbul.
Dengan penaklukan Istanbul, Hagia Sophia dengan cepat menjadi ikon budaya, membawa warisan yang mendalam ke Turki hari ini.
Dinamai "Masjid Agung", segala upaya dilakukan Ottoman untuk melestarikan dan memperbaiki desain yang cacat secara struktural akibat kubah utama yang berat, yang bertengger di sebuah basilika panjang.
Penopang ditambahkan ke sisi Hagia Sophia untuk mencegahnya runtuh pada masa pemerintahan Murad III oleh arsitek sejarah Sinan yang terinspirasi oleh bangunan kuno, dan menggabungkan gaya dengan seni Islam dan estetika dalam serangkaian Masjid Agung, menurut TRT.
Sejumlah warga berdoa di depan Hagia Sophia atau Ayasofya, setelah pengadilan memutuskan mengembalikannya menjadi masjid di Istanbul, Turki, 10 Juli 2020. REUTERS/Murad Sezer
Serangkaian struktur tambahan dibuat termasuk sekolah dan air mancur selama pemerintahan Sultan Mahmud I, dan ruang jam pada masa Sultan Abdulmejid, yang dilakukan oleh arsitek Swiss dari tahun 1847-1849.
Pada 2015, seorang ulama membacakan Al Quran di dalam Hagia Sophia untuk pertama kalinya dalam 85 tahun. Tahun berikutnya, otoritas agama Turki mulai menjadi tuan rumah dan menyiarkan ayat-ayat kitab suci selama bulan suci Ramadan dan azan dikumandangkan pada malam Nuzulul Quran.
UNESCO pada hari Kamis menyatakan bahwa mereka harus diberitahu tentang perubahan status Hagia Sophia dan perubahan mungkin harus ditinjau oleh Komite Warisan Dunia. UNESCO mengatakan kepada Reuters bahwa Hagia Sophia termasuk dalam daftar Situs Warisan Dunia sebagai museum dan karena itu memiliki komitmen dan kewajiban hukum tertentu.