TEMPO.CO, Jakarta - Pelajar asal Indonesia di Amerika ikut bersuara perihal kebijakan pemulangan siswa internasional oleh Departemen Imigrasi AS (US Immigration and Customs Enforcement). Mereka mengkritik kebijakan tersebut, menganggapnya sebagai keputusan yang gegabah dan diskriminatif.
Salah satu yang memprotesnya adalah IIham M. Shiddiq, mahasiswa pasca sarjana dari School of Civil and Environmental Engineering Georgia Institute of Technology. Menurutnya, kebijakan imigrasi tersebut ugal-ugalan karena tidak hanya membahayakan nyawa pelajar internasional, tetapi juga ekonomi Amerika sendiri.
"Hal tersebut bisa mengancam ekonomi Amerika karena pelajar internasional berkontribusi kurang lebih US$45 miliar untuk ekonomi nasional," ujar Ilham ketika diwawancarai Tempo, Rabu, 8 Juli 2020.
Diberitakan sebelumnya, Departemen Imigrasi Amerika mengeluarkan aturan bahwa pelajar internasional yang hanya mengambil kelas online akan diwajibkan pulang ke negara masing-masing. Jika menolak, maka mahasiswa terkait akan dideportasi oleh Departemen Imigrasi Amerika.
Keputusan tersebut tak ayal menimbulkan kehebohan dari kampus dan komunitas pelajar internasional. Sebab, beberapa kampus sudah kadung menyiapkan kelas semester baru mereka secara online untuk alasan keamanan. Sementara itu, untuk pelajar internasional, tak semuanya bisa pulang karena beberapa rute penerbangan masih ditutup.
Departemen Imigrasi memberikan kelonggaran apabila pelajar mengambil kelas campuran, yaitu kelas tatap muka dan kelas online. Alternatif lainnya, memberi kelonggaran apabila pelajar berniat pindah ke kampus dengan kelas fisik atau campuran. Namun, tidak semua kampus siap melakukan perubahan model pengajaran secara dadakan.
"Kebijakan ini tidak dikonsultasikan dengan kampus-kampus di mana tidak semua (jursan) bisa mengakomodir kelas tatap muka sambil tetap menjalankan protokol keselamatan COVID-19," ujar Ilham. Ilham menambahkan bahwa sekolahnya, hingga saat ini belum memberikan briefing apapun.
Kritik senada disampaikan oleh mahasiswa jurnalistik di Michigan State University, Indri Maulidar. Menurutnya, kebijakan imigrasi tersebut aneh karena malah 'menghukum' mahasiswa atas keputusan yang diambil oleh kampus. Di sisi lain, pulang ke negara asal juga berpotensi memperparah penyebaran virus mengingat situasi pandemi di Amerika yang buruk.
"Kelas full online kan kebijakan kampus, kenapa kami yang harus dideportasi?" ujar Indri yang memastikan bahwa dirinya akan menggunakan opsi kelas campuran untuk bisa menyelesaikan kuliahnya di Amerika.
"Saya berharap kampus bisa mencari cara agar pelajar internasional tidak dideportasi. Walau sistem kelas campuran sudah disiapkan, masih ada kemungkinan kelas online sepenuhnya jika pandemi memburuk," ujar Indri menambahkan.
Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Amerika (PERMIAS) sudah mengeluarkan panduan perihal kebijakan pemulangan pelajar internasional tersebut. Mereka mengingatkan bahwa mereka yang terkena dampak kebijakan itu adalah pemegang visa F-1 (pelajar akademis) dan M-1 (pelajar non akademis) yang tidak didanai Pemerintah Amerika.
Selain itu, PERMIAS meminta pelajar Indonesia di Amerika untuk terus memantau International Student Office soal status kelas mereka. Jika sudah ada kepastian, pelajar Indonesia diharapkan memberi tahu PERMIAS soal tersebut.
ISTMAN MP