TEMPO.CO, Jakarta - Diberlakukannya UU Keamanan Nasional Hong Kong memaksa sejumlah perusahaan teknologi Amerika seperti Google dan Facebook menimbang kembali keberadaan mereka di sana. Sebab, UU Keamanan Nasional Hong Kong memperbolehkan Cina untuk meminta segala data pengguna dan menyensor konten yang dianggap melanggar regulasi baru itu.
Hal tersebut diungkapkan oleh anggota parlemen Hong Kong, Charles Mok. Mok berkata, perusahaan-perusahaan tersebut segan menuruti UU Keamanan Nasional Hong Kong dan menimbang untuk keluar dari pasar sana. Padahal, seperti Facebook, mereka belum lama membuka kantor baru di Hong Kong.
"Mereka menimbang kembali liabilitas yang harus mereka hadapi dengan berada di Hong Kong," ujar Mok, dikutip dari kantor berita Reuters, Rabu, 8 Juli 2020.
Mok melanjutkan, jika perusahaan-perusahaan itu menolak mematuhi UU Keamanan Nasional Hong Kong, mereka bisa diperkarakan oleh Hong Kong. Skenario terburuk, kepala cabang di Hong Kong dipenjarakan.
Hingga berita ini ditulis, perusahaan-perusahaan teknologi AS di Hong Kong belum memutuskan apakah akan menuruti kebijakan data dan sensor. Facebook, Google, dan Twitter, pada Senin kemarin, misalnya, menyatakan bahwa mereka belum memproses permintaan Cina dan Hong Kong untuk mendapat data pengguna.
Facebook adalah salah satu yang dalam posisi sulit. Selain belum lama ini mereka membuka kantor baru di Hong Kong, mereka juga mendapat revenue sebesar US$5 miliar dari penjualan iklan di sana. Kebanyakan pelanggan mereka adalah perusahaan Cina yang kesulitan mengakses Facebook dari negeri tirai bambu tersebut.
Permintaan data dari negara tempat mereka beroperasi bukanlah hal baru untuk perusahaan seperti Facebook, Google, dan Twitter. Mereka sudah biasa menghadapinya. Sensor pun juga biasa ditangani dengan Geo Blocking di mana jenis konten dibatasi sesuai aturan tiap negara. Namun, mereka khawatir Cina dan Hong Kong akan meminta lebih dari sekedar data lokal, tetapi juga data luar negeri.
"Jika mereka menuruti UU Keamanan Nasional Hong Kong, maka berpotensi mereka juga melanggar aturan di negara lain (soal data pengguna luar negeri)," ujar Presiden Federasi Teknologi Informasi Hong Kong, Francis Fong Po-kiu.
ISTMAN MP | REUTERS