TEMPO.CO, New York – Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo, meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB untuk memperpanjang embargo senjata terhadap Iran.
Embargo senjata saat ini bakal berakhir pada Oktober 2020.
Baca Juga:
Menanggapi ini, Rusia mengecam kebijakan Washington sebagai menekan leher Iran menggunakan lutut.
Ungkapan ini populer saat terjadi insiden penangkapan oleh polisi di Minneapolis, AS, terhadap seorang warga kulit hitam bernama George Floyd pada 25 Mei 2020.
Insiden ini berujung tewasnya Floyd dan memicu demonstrasi menolak rasisme di AS dan berbagai negara.
Ini juga memicu terjadinya kerusuhan rasial berupa penjarahan toko di berbagai kota besar di AS selama sekitar dua-tiga pekan.
“Jangan hanya mendengar AS, dengarkan juga negara-negara di kawasan. Dari Israel hingga Teluk, negara Timur Tengah, yang terancam tindakan predator Iran. Semua bicara satu suara yaitu perpanjang embargo senjata,” kata Pompeo dalam sidang DK PBB, yang berlangsung virtual seperti dilansir Reuters pada Selasa, 30 Juni 2020.
Ketegangan antara AS dan Iran terus meningkat sejak Presiden AS, Donald Trump, menarik negaranya keluar dari Perjanjian Nuklir Iran pada 2018.
Trump juga menerapkan sanksi ekonomi terhadap Iran seperti dilansir CNN.
Sanksi itu misalnya pelarangan pembelian minyak Iran oleh negara lain. AS juga melarang Iran menggunakan dolar untuk transaksi internasional.
Menanggapi ini, Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, menggambarkan kebijakan AS sebagai berusaha membuat Iran kesulitan bernapas.
“Tujuannya adalah melakukan pergantian rezim atau menciptakan situasi yang membuat Iran tidak bisa bernapas. Ini sama seperti menekan leher seseorang dengan lutut,” kata Nebenzia.