TEMPO.CO, Jakarta -Presiden Donald Trump kembali dikalahkan Mahkamah Agung Amerika. Kali ini, Mahkamah Agung menghalangi upaya Trump untuk mengakhiri program Deferred Action for Childhood Arrivals (DACA).
DACA adalah kebijakan yang dibuat di era mantan Presiden Amerika Barack Obama. Tujuan dari program tersebut untuk melindungi para imigran, yang dibawa ke Amerika ketika masih anak-anak, dari deportasi.
"Kami tidak memutuskan apakah DACA ataupun turunannya adalah kebijakan yang efektif. Kami hanya menguji apakah ada cukup alasan untuk mengakhiri kebijakan tersebut," ujar hakim agung dari kubu konservatif, John Roberts, sebagaimana dikutip dari CNN, Kamis waktu Amerika, 18 Juni 2020
Dari sembilan hakim agung yang menguji kebijakan DACA, lima di antaranya mendukung kebijakan tersebut. Selain Roberts, hakim agung lainnya adalah Bader Ginsburg, Elena Kagan, Stephen Breyer, dan Sonia Sotomayor. Keempatnya adalah hakim agung dari sisi liberal.
Dengan dipertahankannya DACA, maka total sudah dua kali administrasi Trump kalah di Mahkamah Agung. Sebelumnya, administrasi Trump juga gagal mendorong kebijakan diskriminatif terhadap anggota komunitas LGBTQ di tempat kerja. John Roberts termasuk hakim agung yang melarang kebijakan diskriminatif itu,
Clarence Thomas, satu dari empat hakim agung yang tidak mendukung kebijakan DACA, mengaku kecewa dengan hasil yang ada. Ia berkata, putusan Mahkamah Agung kali harus diingat sebagai upaya menghindari putusan kontroversial yang benar secara substansi hukum.
Hal senada disampaikan oleh Trump. Trump marah besar dengan putusan itu, sampai menyebutnya sebagai tembakan senapan shotgun ke muka republikan dan konservatif. "Putusan yang buruk dan berbau politis," ujar Trump.
Secara hukum, Trump bisa kembali mengakhiri kebijakan DACA. Namun, secara hitung-hitungan waktu, sulit membayangkan putusan bisa didapat sebelum Pilpres digelar pada November nanti.
ISTMAN MP | REUTERS