TEMPO.CO, Auckland - Departemen Polisi Selandia Baru melakukan sejumlah kesalahan saat mengeluarkan izin senjata api kepada pelaku penembakan massal Brenton Tarrant.
Tarrant, yang sedang menjalani proses hukum di Pengadilan Christchurch, menembak jamaah dua masjid yaitu Masjid Al Noor dan Masjid Linwood pada 15 Maret 2020.
Sebanyak 51 orang tewas tertembak di lokasi atau saat penanganan medis di rumah sakit.
“Polisi keliru memberi izin penggunaan senjata api kepada pelaku teroris 15 Maret,” begitu dilansir Stuff pada Selasa, 16 Juni 2020.
Tarrant mengaku bersalah atas tindakan brutalnya itu, yang merupakan peristiwa penembakan massal terparah dalam sejarah Selandia Baru, di pengadilan.
Menurut Stuff, polisi yang bertugas mengecek latar belakang Tarrant tidak melakukan tugasnya saat pria asal Australia itu mengajukan izin senjata pada 2017.
“Polisi juga tidak mewawancarai anggota keluarga pelaku seperti yang diharuskan. Malah, polisi mengandalkan keterangan dua pria yang bertemu dengan teroris ini lewat ruang obrol di Internet,” begitu dilansir Stuff.
Keduanya adalah seorang ayah dan putranya di Cambridge.
Lalu, kesalahan ini dibiarkan saja dan polisi mengeluarkan izin senjata api. Ini membuat Tarrant bisa menumpuk senjata api semi-otomatis, yang kemudian digunakan untuk membunuh 51 orang.
“Masalah ini sebenarnya bisa dihindari. Jika polisi menangani sejumlah isu terkait pengelolaan senjata api bertahun-tahun lalu. Ini seharusnya bisa dihindari,” kata sumber dari kepolisian baik polisi aktif dan mantan polisi kepada Stuff.
Masalah ini bersifat sistemik karena petugas polisi yang memeriksa aplikasi izin senjata api merasa kewalahan akibat banyaknya pengajuan izin.
“Petugas polisi sering menelpon koleganya di mabes polisi mengeluhkan beban kerja yang sangat banyak. Petugas polisi diminta memproses pengajuan izin senjata dengan cepat,” kata salah satu sumber polisi kepada Stuff.
Parlemen Selandia Baru baru saja menyetujui undang-undang reformasi senjata pai kedua pada pekan ini. Sebelumnya, mereka telah melarang penjualan senjata api semi-otomatis setelah serangan teroris itu.
Partai Selandia Baru Pertama dan Partai Buruh bersepakat memisahkan proses pemberian izin senjata pai dari polisi. Ada satu badan khusus yang akan memproses pemberian izin senjata api.