TEMPO.CO, Jakarta - Presiden AS Donald Trump mengesahkan sanksi ekonomi dan perjalanan terhadap karyawan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) yang terlibat dalam penyelidikan dugaan kejahatan perang pasukan Amerika di Afganistan.
Selama pengumuman perintah eksekutif presiden, pejabat pemerintahan Trump mengatakan ICC yang bermarkas di Den Haag itu mengancam melanggar kedaulatan nasional AS dan menuduh Rusia memanipulasi ICC untuk tujuan Kremlin.
"Kami tidak bisa, kami tidak akan berdiri karena rakyat kami diancam oleh pengadilan kanguru," kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo ketika mengumumkan sanksi ke ICC, dikutip dari Reuters, 12 Juni 2020, mengejek ICC sebagai Pengadilan Kangguru, istilah untuk menyebut pengadilan yang mengabaikan standar hukum dan memiliki sedikit atau tanpa kedudukan resmi di wilayah yurisdiksi bersangkutan.
"Saya punya pesan untuk banyak sekutu dekat di dunia. Orang-orang Anda bisa menjadi yang berikutnya, terutama mereka yang berasal dari negara-negara NATO yang memerangi terorisme di Afganistan bersama kami," katanya.
Dalam sebuah pernyataan, ICC mengatakan langkah Washington adalah serangkaian serangan terbaru yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap pengadilan.
"Serangan-serangan ini merupakan eskalasi dan upaya yang tidak dapat diterima untuk mengganggu aturan hukum dan proses pengadilan," kata ICC.
Menteri Luar Negeri Belanda Stef Blok, yang juga anggota aliansi keamanan Barat, menulis di Twitter bahwa ia sangat terganggu oleh sikap AS, dan mengatakan negaranya mendukung ICC, yang ia gambarkan sebagai "lembaga penting dalam perang melawan impunitas."
Sanksi yang dapat dikenakan berdasarkan perintah eksekutif termasuk pembekuan aset AS dari mereka yang membantu ICC menyelidiki atau menuntut warga negara Amerika tanpa persetujuan AS, serta melarang mereka dan keluarga mereka untuk mengunjungi Amerika Serikat.
Selain Mike Pompeo, pejabat tinggi AS lain yang hadir pada pengumuman tersebut adalah Menteri Pertahanan Mark Esper, penasihat keamanan nasional Robert O'Brien dan Jaksa Agung William Barr.
Jaksa Mahkamah Kejahatan Internasional, ICC, Fatou Bensouda [File photo]
Jaksa penuntut ICC, Fatou Bensouda, ingin menyelidiki kemungkinan kejahatan yang dilakukan antara tahun 2003 dan 2014, termasuk dugaan pembunuhan massal warga sipil oleh Taliban, serta dugaan penyiksaan tahanan oleh otoritas Afganistan, serta dugaan pelanggaran oleh pasukan AS dan CIA. Investigasi ICC diberikan lampu hijau pada bulan Maret.
ICC memutuskan untuk meluncurkan investigasi setelah pemeriksaan pendahuluan oleh jaksa penuntut pada tahun 2017 menemukan alasan yang masuk akal untuk meyakini ada kejahatan perang dilakukan di Afganistan dan bahwa pengadilan memiliki yurisdiksi.
ICC didirikan pada tahun 2002 oleh komunitas internasional untuk menuntut kejahatan perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. ICC memiliki yurisdiksi hanya jika negara anggota tidak mampu atau tidak mau menuntut kejahatan itu sendiri. Amerika Serikat tidak pernah menjadi anggota ICC.
Aktivis hak asasi manusia menyerang langkah Trump. Andrea Prasow, direktur Washington untuk Human Rights Watch, mengatakan tindakan itu menunjukkan penghinaan terhadap aturan hukum global dan mewakili upaya terang-terangan untuk menghalanginya.
Tindakan AS adalah serangan terbaru pemerintahan Trump terhadap badan internasional. Trump, yang telah mempromosikan kebijakan America First, akhir bulan lalu mengatakan dia akan mengakhiri hubungan AS dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Afganistan adalah anggota ICC, meskipun Kabul berpendapat bahwa setiap kejahatan perang harus dituntut secara lokal.