TEMPO.CO, Sydney - Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, mendapat kritik dari sejumlah kalangan setelah mengatakan tidak ada perbudakan dalam sejarah Australia.
Dia mengatakan ini dalam sebuah diskusi membahas mengenai masa pendudukan Inggris di Australia, yang dia akui cukup brutal.
Sejumlah ahli sejarah, aktivis Aborigin, dan sejumlah anggota parlemen mengaku terkejut dan kecewa dengan pernyataan Scott Morrison ini.
“Perbudakan terhadap penduduk asli, lelaki, dan perempuan serta anak-anak terdokumentasi dengan baik,” kata Sharman Stone, yang pernah menjadi anggota parlemen dan sekarang mengajar politik di Monash University, seperti dilansir Reuters pada Kamis, 11 Juni 2020.
Stone menambahkan,”Orang-orang yang diperbudak bekerja di sejumlah industri seperti penangkapan ikan dan juga sebagai pembantu rumah tangga.”
Diskusi ini berlangsung di tengah merebaknya sentimen kesetaraan rasial setelah insiden penangkapan pria kulit hitam George Floyd oleh polisi kulit putih di AS.
Polisi bernama Derek Chauvin itu menekan leher belakang George Floyd selama sekitar 9 menit, yang membuat pria kulit hitam itu kesulitan bernapas dan meninggal.
Ini memunculkan protes besar-besaran di seluruh Amerika Serikat dan sejumlah negara Barat dan Asia.
Aksi protes itu menjadi gerakan Black Lives Matter, yang kemudian memicu munculnya isu perlakuan sewenang-wenang aparat Australia terhadap warga Aborigin.
Sejumlah warga Aborigin dilaporkan tewas setelah ditahan polisi di Australia.
Scott Morrison menolak desakan publik untuk mencabut sejumlah patung pemimpin kulit putih, yang diduga bermasalah dan bersikap rasis.
Ini misalnya patung Edmund Barton, yang terletak di dekat pemakaman Aborigin.
Barton berperan besar merancang konstitusi Australia, yang mengabaikan hak-hak warga Aborigin. “Morrison mengatakan motif awal demonstran cukup adil tapi pemindahan patung memiliki motif politik,” begitu dilansir Reuters.