TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Donald Trump mengatakan ia akan memperkenalkan undang-undang yang dapat membatalkan atau melemahkan undang-undang yang telah melindungi perusahaan internet, termasuk Twitter, dan Facebook.
Rancangan undang-undang yang diusulkan adalah bagian dari perintah eksekutif yang ditandatangani Trump pada Kamis sore. Trump telah menyerang Twitter karena menandai tweet-nya yang mengklaim ada kecurangan pemungutan suara melalui surat tanpa bukti. Twitter menandai tweet tersebut dengan pemeriksaan fakta.
Dengan perintah eksekutif, Trump ingin menghapus atau mengubah ketentuan undang-undang yang dikenal dengan pasal 230 yang melindungi perusahaan media sosial dari pertanggungjawaban atas konten yang diunggah oleh pengguna mereka, menurut laporan Reuters, 29 Mei 2020.
Trump mengatakan Jaksa Agung AS William Barr akan mulai menyusun undang-undang secepatnya untuk mengatur perusahaan media sosial.
Pada hari Rabu, Gedung Putih mengumumkan rencana untuk memodifikasi Pasal 230 berdasarkan salinan rancangan perintah eksekutif yang menurut para ahli tidak mungkin diloloskan secara hukum. Versi terakhir dari perintah eksekutif yang dirilis pada hari Kamis tidak memiliki perubahan besar kecuali proposal untuk undang-undang federal.
"Apa yang saya pikir bisa kita katakan adalah kita akan mengaturnya," kata Trump sebelum penandatanganan perintah eksekutif.
"Saya telah dipanggil oleh Demokrat yang ingin melakukan ini, jadi saya pikir Anda mungkin memiliki situasi bipartisan," kata Trump, yang mencalonkan diri untuk pemilu November.
Twitter tidak mengomentari perihal perintah eksekutif itu. Seorang juru bicara Google mengatakan mengubah Pasal 230 dengan cara ini akan merugikan ekonomi Amerika dan kepemimpinan globalnya pada kebebasan internet.
Juru bicara Facebook mengatakan membatalkan atau membatasi ketentuan akan membatasi lebih banyak kebebasan berpendapat online dan memaksa platform untuk menyensor apa pun yang mungkin menyinggung siapa pun.
Pernyataan Trump dan perintah eksekutifnya berupaya untuk menghindari Kongres dan pengadilan dalam mengubah Pasal 230. Ini merupakan upaya terakhir Trump untuk menggunakan wewenang kepresidenan untuk memaksa perusahaan swasta mengubah kebijakan yang ia yakini tidak menguntungkan baginya.
"Dalam hal upaya presiden untuk membatasi komentar kritis tentang diri mereka sendiri, saya pikir seseorang harus kembali ke Undang-Undang Sedisi tahun 1798 yang membuatnya ilegal untuk mengatakan hal-hal yang salah tentang presiden dan pejabat publik tertentu lainnya," kata pengacara Amandemen Pertama Floyd Abrams.
Advokat yang lain seperti Jack Balkin, seorang profesor hukum tata negara Universitas Yale mengatakan, "Presiden sedang mencoba untuk menakuti, memaksa, mengancam, dan membujuk, perusahaan media sosial lain untuk tidak melakukan apa yang baru saja dilakukan Twitter kepadanya."
Trump, yang menggunakan Twitter hampir setiap hari untuk mempromosikan kebijakannya dan menghina lawan-lawannya, telah lama mengklaim tanpa bukti bahwa Twitter bias dan lebih condong mendukung Demokrat. Dia dan para pendukungnya telah melontarkan tuduhan yang tidak berdasar yang sama terhadap Facebook, yang digunakan kampanye presiden Trump sebagai sarana iklan.
Pasal 230 yang melindungi legalitas perusahaan media sosial sering mendapat kecaman karena bias termasuk dari anggota parlemen termasuk kritikus Big Tech Senator Josh Hawley. Para kritikus berpendapat bahwa pasal itu memberikan izin kepada perusahaan internet untuk hal-hal seperti pidato kebencian dan konten yang mendukung organisasi teror.
Perusahaan media sosial telah mendapat tekanan dari banyak pihak, baik di Amerika Serikat dan negara lain, untuk lebih mengontrol informasi yang salah dan konten berbahaya pada layanan mereka.
Kepala Eksekutif Twitter Jack Dorsey mengatakan di situs web perusahaan Rabu malam bahwa tweet presiden Trump "dapat menyesatkan orang sehingga berpikir pemilu tidak perlu mendaftar untuk mendapatkan surat suara. Tujuan kami adalah untuk menghubungkan titik-titik pernyataan yang bertentangan dan menunjukkan informasi dalam perselisihan sehingga orang dapat menilai sendiri."
Pada hari Rabu malam, Twitter terus menambahkan label pemeriksaan fakta dan label manipulasi media pada ratusan tweet.
Ketua DPR AS Nancy Pelosi menyebut perintah eksekutif yang direncanakan Trump "keterlaluan".