TEMPO.CO, Jakarta - Amerika Serikat meminta sekutunya, termasuk Israel, untuk mengurahi hubungan dengan Cina terutama di bidang dengan risiko keamanan tinggi, menurut pejabat AS yang mengetahui informasi ini.
Permintaan ini menandai meningkatnya ketegangan antara dua negara ekonomi terbesar dunia menyusul pernyataan Duta Besar AS David Friedman dan pejabat Departemen Luar Negeri AS, tentang pembentukan proses peninjauan yang lebih kuat untuk investasi asing yang dapat menimbulkan risiko, dan pengurangan ketergantungan pada Cina untuk peralatan darurat di masa virus corona.
"Saya akan melangkah lebih jauh. Pengurangan keterlibatan secara keseluruhan. Eliminasi di area kritis sama sekali," kata sumber mengatakan kepada Jerusalem Post tentang pembentukan Komite Investasi Asing Amerika Serikat (CFIUS) versi Israel.
"Mekanisme tipe CFIUS adalah awal yang baik," tambahnya.
Pejabat itu menekankan bahwa permintaan ini tidak eksklusif untuk Israel, artinya, Amerika Serikat meminta semua sekutunya untuk mengurangi ikatan dengan Cina.
Pejabat pemerintahan Trump mengatakan bahwa Israel harus siap untuk mengambil tindakan nyata untuk mengurangi hubungannya dengan Cina, seperti dikutip dari Jerusalem Post, 20 Mei 2020.
"Dalam pertemuan terakhir tentang masalah itu, pihak Israel telah dengan sopan mengakui keprihatinan kami tanpa melakukan tindakan," kata pejabat yang berkantor di AS tersebut.
Berbagai sumber pemerintah AS menyangkal informasi tentang permintaan ganti rugi Israel dari AS sebagai imbalan untuk mengurangi ikatan perdagangan dengan Cina. Army Radio melaporkan pada hari Selasa bahwa para pejabat AS menolak permintaan itu, tetapi masih mengharapkan Israel berada di pihak mereka dalam pertikaian mereka dengan Cina.
Gesekan yang sedang berlangsung antara AS dan Cina meningkat dalam beberapa bulan terakhir setelah wabah Covid-19.
Pada awal Mei CNN melaporkan pemerintahan Donald Trump berupaya mencari sekutu asing untuk bersama-sama menyalahkan Cina atas virus corona, menurut dua sumber yang mengetahui diskusi tersebut.
Sementara AS telah berulang kali dan secara terbuka meminta Israel untuk membuat sistem pengaturan investasi asing lebih komprehensif. Kantor Perdana Menteri membentuk komite penasehat tentang masalah ini bulan lalu, tetapi rekomendasinya tidak mengikat dan regulator tidak diharuskan untuk membawa investasi di hadapan panel. Selain itu, investasi dalam teknologi berada di luar mandatnya yang sempit.
Cina adalah mitra dagang terbesar ketiga Israel dan perdagangan antara keduanya tumbuh sebesar 402% dalam dekade terakhir, mencapai sekitar US$ 14 miliar (Rp 206 triliun) pada tahun 2018.
Salah satu industri yang oleh AS dianggap sangat sensitif adalah teknologi, sehingga AS mengincar penelitian akademis bersama Cina-Israel di lapangan, kata sumber Jerusalem Post.
AS khawatir dengan miliaran dolar yang telah diinvestasikan oleh perusahaan-perusahaan Cina dalam teknologi Israel yang diklasifikasikan Israel sebagai teknologi komersial, tetapi dapat digunakan oleh intelijen Cina seperti kecerdasan buatan, komunikasi satelit, dan keamanan siber. Beberapa perusahaan teknologi yang berinvestasi di Israel, seperti Huawei dan ZTE, diketahui menjual produk dengan kerentanan keamanan.
Salah satu dari area kritis yang disebutkan sumber adalah keterlibatan perusahaan-perusahaan Cina dalam proyek infrastruktur utama di Israel dalam beberapa tahun terakhir.
Proyek Cina di Israel yang paling terkenal adalah terminal baru pelabuhan Haifa yang sebagian dibangun dan akan dioperasikan oleh perusahaan Cina tahun depan, di mana armada keenam Angkatan Laut AS berlabuh setidaknya sekali setahun.
Juga ada peningkatan perhatian kepada Sorek 2, yang rencananya akan menjadi pabrik desalinasi terbesar di dunia. Hutchison Water International, anak perusahaan dari perusahaan yang berbasis di Hong Kong, adalah salah satu dari dua finalis untuk tender calon operator pabrik. Setelah tekanan AS, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memerintahkan komite investasi asing Israel untuk meninjau kembali tender tersebut.