TEMPO.CO, Washington - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menggelar rapat kabinet untuk pertama kali dalam sejarah Amerika Serikat di Ruang Timur dan bukannya di Ruang Kabinet saat pandemi wabah Corona.
Deputi Sekretaris Media Gedung Putih, Judd Deere, mengatakan ini terjadi karena Ruang Timur lebih lua dibandingkan Ruang Kabinet untuk tujuan menjaga jarak atau social distancing antar peserta rapat kabinet.
“Tidak ada kekhawatiran keamanan karena mereka tidak mendiskusikan urusan rahasia,” kata Jonathan Wackrow, bekas anggota agen rahasia seperti dilansir CNN pada Selasa, 19 Mei 2020.
Wackrow menambahkan,”Namun, ada pengecualian yaitu Ruang Timur bisa sedikit berisik jika ada aksi protes di luar (Gedung Putih).”
Menurut catatan CNN, satu-satunya rapat kabinet yang digelar di luar Ruang Kabinet baru-baru ini terjadi beberapa tahun lalu. Itu terjadi karena Ruang Kabinet sedang menjalani proses renovasi. Saat itu, rapat kabinet pindah ke Ruang Roosevenlt.
Dalam rapat kabinet pada Selasa, 19 Mei 2020, Presiden Donald Trump mengatakan dia mempertimbangkan untuk melarang perjalanan ke Amerika Latin.
Dia juga menyebut jumlah kasus infeksi virus Corona atau Covid-19 sebagai lambang kehormatan karena itu berarti AS melakukan tes kesehatan lebih banyak dibandingkan negara lain.
“Kita sedang mempertimbangkannya,” kata Trump saat ditanya apakah dia mempertimbangkan melarang perjalanan warga ke Brasil, yang saat ini menempati urutan ketiga jumlah infeksi virus Corona.
“Ktia harap tidak ada masalah. Gubernur Florida melakukan tugas sangat baik karena mayoritas datang ke Florida. Brasil memiliki masalah,” kata Trump.
Dia menambahkan,”Saya merasa khawatir soal semua hal. Saya tidak mau orang datang ke sini dan menginfeksi rakyat kita. Saya juga tidak mau orang di sana sakit.”
Saat ini, seperti dilansir Reuters, Amerika Serikat menempati urutan pertama jumlah korban infeksi virus Corona. Amerika mencatat ada sekitar 1.5 juta orang dengan lebih 91 ribu orang meninggal.
Jumlah kasus infeksi virus Corona secara global mencapai sekitar 4.88 juta kasus dengan 322 ribu orang meninggal dunia seperti dilansir Reuters. Sebanyak 1.7 juta orang berhasil sembuh setelah menjalani pengobatan di rumah sakit.