TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengancam akan memutus hubungan dengan Cina dan mengaku enggan berbicara dengan Presiden Cina Xi Jinping karena perselisihan virus corona.
Pernyataan Trump dalam wawancara dengan Fox Business Network yang disiarkan pada Kamis adalah retorika terbarunya yang semakin memanaskan hubungan AS dengan negara ekonomi terbesar kedua di dunia.
Dikutip dari Reuters, 15 Mei 2020, dalam wawancara itu Trump mengatakan dirinya kecewa karena Cina gagal mengendalikan wabah.
"Mereka seharusnya tidak pernah membiarkan ini terjadi," kata Trump. "Jadi saya membuat kesepakatan perdagangan yang hebat dan sekarang saya mengatakan ini tidak terasa sama bagi saya. Tinta hampir kering dan wabah datang. Dan itu tidak terasa sama bagi saya."
Kekesalan Trump meluas kepada Xi Jinping, sosok yang berulang kali dia sebut memiliki memiliki hubungan yang baik.
"Tapi saya hanya, untuk saat ini, saya tidak ingin berbicara dengannya," kata Trump dalam wawancara yang direkam pada hari Rabu.
Trump ditanyai tentang saran senator Republik agar visa AS menolak visa untuk pelakar Cina yang mendaftar untuk belajar di bidang terkait dengan keamanan nasional, seperti komputasi kuantum dan kecerdasan buatan.
"Ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Kita bisa melakukan banyak hal. Kita bisa memutus seluruh hubungan," jawabnya.
"Sekarang, jika Anda melakukan itu, apa yang akan terjadi? Anda akan menghemat US$ 500 miliar (Rp 7448 triliun)," kata Trump, merujuk pada perkiraan impor tahunan AS dari Cina, yang sering disebutnya sebagai uang hilang.
Pernyataan itu mengundang ejekan dari Hu Xijin, pemimpin redaksi tabloid Global Times yang berpengaruh di Cina, yang merujuk pada komentar Trump yang pernah mengatakan pada bulan lalu bahwa Covid-19 bisa diobati.
"Presiden ini pernah menyarankan pasien Covid-19 untuk disuntik disinfektan," tulis Hu di Twitter. "Ingat ini dan kalian tidak akan terkejut ketika dia mengatakan dia bisa memutuskan seluruh hubungan dengan Cina. Yang bisa saya katakan adalah dia berada di luar imajinasi saya untuk presiden yang normal."
Trump dan pendukungnya dari Partai Republik telah berulang kali menuduh Beijing gagal memperingatkan dunia akan tingkat keparahan dan ruang lingkup wabah virus corona, yang telah memicu kontraksi ekonomi global dan mengancam peluang Trump menang dalam pilpres AS bulan November.
Amerika Serikat saat ini adalah negara yang paling parah terpukul akibat virus corona.
Cina menegaskan mereka telah transparan terkait virus corona, dan di tengah adu mulut yang semakin sengit, kedua pihak telah mempertanyakan masa depan kesepakatan perdagangan.
Di bawah Fase 1 perjanjian perdagangan, Beijing berjanji untuk membeli setidaknya US$ 200 miliar (Rp 2.979 triliun) tambahan untuk barang dan jasa tambahan dari AS selama dua tahun, sementara Washington setuju untuk menurunkan tarif barang-barang Cina secara bertahap.
Mengingat perang kata-kata atas pandemi, Global Times pada hari Kamis mengutip para ahli yang mengatakan Beijing berusaha untuk memecah ketegangan yang meningkat dengan Washington, dan bahwa rencana untuk meningkatkan pembelian produk pertanian AS termasuk barley, blueberry dan pir mencerminkan hal ini.
"(Cina) masih berharap bahwa masalah ekonomi dan perdagangan tidak akan dipolitisasi karena itu tidak baik bagi kedua belah pihak," kata Li Yong, wakil ketua Komite Ahli Asosiasi Perdagangan Internasional Cina, yang dikutip Global Times.
"Harapannya adalah bahwa kedua belah pihak akan menyelesaikan tantangan melalui komunikasi daripada menunjuk dengan jari," kata Yong.
Sementara badan-badan intelijen AS mengatakan bahwa virus corona tampaknya bukan buatan manusia atau dimodifikasi secara genetik dan menolak teori yang didengungkan oleh beberapa pendukung Trump. Namun, dalam wawancara hari Rabu, Trump bersikukuh Cina mestinya bisa menghentikan wabah sejak awal.
"Apakah itu berasal dari lab atau berasal dari kelelawar, semuanya berasal dari Cina, dan mereka seharusnya menghentikannya," katanya. "Itu di luar kendali."
Sebelumnya Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan bahwa AS harus fokus memperbaiki masalah-masalahnya di dalam negeri dan berhenti menyebarkan disinformasi atau menyesatkan masyarakat internasional.
Para pengkritik mengatakan klaim Donald Trump yang menyalahkan Cina hanyalah alibi pembelaan diri karena lambatnya respons pemerintah menangani virus corona.