TEMPO.CO, Jakarta - Kantor Hak Asasi Manusia di PBB menyampaikan kekhawatirannya soal praktik kekerasan selama penerapan lockdown virus Corona (COVID-19). Terutama, praktik kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum. Menurut temuan mereka, kurang lebih ada 10 negara yang bermasalah dalam melakukan penertiban selama lockdown.
"Situasi darurat tidak boleh dijadikan senjata untuk menekan warga atau mempertahankan kekuasaan mereka," ujar Komisioner PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, sebagaimana dikutip dari Channel News Asia, Senin, 27 April 2020.
Bachelet mengatakan, sejauh ini ada 15 negara yang tercatat menggunakan kekerasan secara berlebihan selama lockdown virus Corona. Mereka adalah Nigeria, Kenya, Afrika Selatan, Filipina, Sri Lanka, El Salvador, Republik Dominika, Peru, Honduras, Yordania, Moroko, Kamboja, Uzbekistan, Iran, dan Hungaria.
Aksi kekerasan yang mereka lakukan beragam menurut Bachelet. Beberapa di antaranya adalah menyerang warga, memenjarakan warga tanpa dasar hukum yang jelas, serta membunuh warga. PBB menyebutnya sebagai "toxic lockdown".
Menurut Direktur Operasional Lapangan, Georgette Gagnon, Filipina adalah salah satu negara yang menerapkan toxic lockdown terparah. Hal itu dilihat dari berapa banyak warga yang mereka tahan selama lockdown. Dalam sebulan terakhir, kata Gagnon, Filipina telah memenjarakan 120 ribu orang dengan tuduhan melanggar jam malam.
Selain Filipina, Kenya juga merupakan salah satu yang terparah. Gagnon berkata, setidaknya ada 20 kasus kematian di Kenya yang diduga berkaitan dengan penertiban lockdown. Setelah Kenya, ada Nigeria yang tercatat memiliki 18 kasus kematian terkait hal sama.
"Seperti yang dikatakan komisioner, polisi atau aparat penegak hukum melakukan penertiban secara berlebihan atau bahkan mematikan semasa lockdown di beberapa negara," ujar Gagnon.
Gagnon menambahkan bahwa ada hal lain yang patut dicatat mengenai perilaku penegak hukum selama lockdown. Hal lain itu adalah pemerasan. Di Afrika, sejumlah aparat penegak hukum memeras warga apabila tidak ingin dikarantina bersama penderita COVID-19 lainnya.
"Mereka yang tidak bisa membayar, terutama orang miskin, akan dibawa ke tempat karantina meskipun mereka tidak memiliki indikasi tertular virus Corona," ujar Gagnon.
Perihal Cina, Gagnon mengaku kebanyakan laporan yang ia terima berkaitan dengan pembatasan kebebasan berpendapat. Wujudnya beragam mulai dari sensor, intimidasi, penangkapan, serta detensi. Detensi itu sendiri tidak melihat profesi karena ada dokter, petugas medis, jurnalis, dan aktivis HAM yang sudah menjadi korbannya.
Hingga berita ini ditulis, belum semua negara memberikan tanggapan langsung soal toxic lockdown. Salah satu yang sudah adalah Kenya di mana Presiden Uhuru Kenyatta mengajukan permintaan maaf atas kekerasan polisi.
ISTMAN MP | CHANNEL NEWS ASIA