TEMPO.CO, Jakarta - Perwakilan Indonesia di ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, AICHR Yuyun Wahyuningrum mengungkapkan keprihatinannya menerima laporan tentang otoritas maritim Malaysia menolak masuk pengungsi Rohingya yang tiba dengan kapal pada 16 April 2020. Malaysia beralasan takut pengungsi Rohingya akan menularkan virus Corona atau COVID-19.
Padahal, menurut Yuyun, tidak ada bukti bahwa pengungsi Rohingya mengidap virus itu.
"Di masa pandemi seperti sekarang ini, kita harus saling menjaga. Ini adalah waktu untuk berbelas kasih, terutama bagi mereka yang terpinggirkan dan sangat membutuhkan bantuan seperti Rohingya," kata Yuyun dalam pernyataannya yang diterima Tempo hari ini, 25 April.
Yuyun menjelaskan, walapun pengawasan batas negara diperketat dan pembatasan kebebasan bergerak mungkin diperlukan dalam mengurangi penyebaran COVID-19, tetapi semua pihak tidak bisa memalingkan muka dari kelompok yang membutuhkan bantuan dan perlindungan.
"Saat ini semua negara-negara di ASEAN telah memiliki protokol kesehatan yang mengharuskan siapa saja yang masuk ke negaranya akan di karantina selama 14 hari di tempat yang telah ditentukan," ujar Yuyun.
Pada tahun 2010, ASEAN telah mengadopsi Deklarasi tentang Kerja sama dalam Pencarian dan Penyelamatan Orang dan Kapal yang menghadapi masalah di laut (Declaration on Cooperation in Search and Rescue of Persons and Vessels in Distress at Sea). Deklarasi ini menggarisbawahi pentingnya kerja sama antara negara-negara anggota ASEAN dalam memberikan bantuan kepada orang-orang dan kapal-kapal saat dalam kesulitan di laut.
Sehingga penolakan Malaysia terhadap kapal yang ditumpangi Rohingya bertentangan dengan ASEAN Declaration addressing the issue of COVID-19 yang baru saja diadopsi tanggal 14 April 2020, yang di antaranya menyerukan negara-negara ASEAN untuk memprioritaskan kesejahteraan rakyatnya dalam menangani COVID-19 dan memberikan bantuan dan dukungan yang sesuai kepada warga negara anggota ASEAN yang terdampak pandemi.
"Kita seharusnya tidak mengulangi kesalahan yang sama pada tahun 2015, ketika puluhan orang Rohingya meninggal di laut karena kapal mereka dicegah masuk ke Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Padahal hak untuk mencari suaka dijamin dalam Pasal 16 Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN.
Ditambah lagi, Malaysia, Indonesia, Myanmar, Thailand dan Bangladesh adalah merupakan negara-negara yang berpartisipasi dalam Satuan Tugas Perencanaan dan Kesiapsiagaan Proses Bali tentang Penyelundupan Manusia, Perdagangan Orang dan Kejahatan Transnasional Terkait (Bali Process). Negara yang berpartisipasi pada Februari 2020 telah sepakat agar mengutamakan penyelamatan hidup mereka yang terobang-ambing di laut dalam menangani migrasi maritim yang tidak teratur (irregular maritime migration) dan mendukung prinsip non-refoulement.
Jadi, Yuyun menegaskan, yang dibutuhkan saat ini adalah aksi untuk melaksanakan komitment-komitmen yang telah dibuat untuk membantu mereka yang membutuhkan seperti pengungsi Rohingya.
Saat Menteri Luar Negeri Bangladesh A.K. Abdul Momen menyatakan negaranya tidak lagi mengizinkan masuk pengungsi Rohingya pada 23 April lalu, pemimpin oposisi Malaysia Anwar Ibrahim mengatakan negaranya seharusnya tidak mengusir kapal yang membawa Rohingya.
"Saat kami menjaga perbatasan, kami tidak dapat membiarkan orang meninggal, apalagi mereka korban tirani pemerintah mereka sendiri. Saya berharap pemerintah akan mempertimbangkan untuk menjaga mereka dengan pengawasan terbatas namun tidak mengusir mereka, membiarkan mereka tenggelam atau meninggalkan mereka kelaparan," kata Anwar menanggapi Rohingya sebagaimana dilaporkan Radio Free Asia, 23 April.