TEMPO.CO, Jakarta - Tedros Adhanom Ghebreyesus mungkin orang nomor satu di Organisasi Badan Dunia atau WHO yang pertama mendapat serangan bertubi-tubi dari Amerika Serikat saat wabah virus menyerang sedikitnya 190 negara.
Serangan itu tak hanya menyangkut kinerja namun juga integritasnya, hingga ancaman pembunuhan berlatar rasis saat menangani wabah Corona.
Pemicu kekisruhan panjang ini ketika Presiden AS Donald Trump menuding WHO kini menjadi Cina sentris dan berujung dengan memutuskan untuk menghentikan sementara bantuan dana AS untuk WHO hingga rampung pengkajian terhadap kinerja salah satu organ PBB itu.
Andai Tedros tidak berkunjung ke Cina bertemu Presiden Xi Jinping saat negara itu berkejaran waktu membasmi wabah virus Corona pada Januari 2020. Andai Tedros tidak memuji keberhasilan Cina melakukan langkah lockdown yang sempat dikritik para aktivis HAM sebagai pelanggaran HAM dan belakangan diikuti semua negara yang terkena wabah. Andai Tedros bukan dari salah satu negara Afrika yang sarat korupsi dan jauh dari transparansi.
Siapa Tedros? Bagaimana rekam jejaknya hingga terpilih sebagai orang nomor satu di WHO?
Berdasarkan data yang dimuat di situs resmi WHO, Tedros terpilih sebagai direktur jenderal WHO pada Mei 2017. Tedros pun menjadi orang Afrika pertama yang menempati jabatan tertinggi sejak 69 tahun WHO berdiri. Sekaligus yang pertama dengan latar belakang akademik bukan dokter.
Dia meraih 133 suara saat pemilihan kandidat direktur jenderal WHO yang beranggotakan 194 negara. Dari 54 negara Afrika anggota WHO, 50 negara memilih Tredos.
Tedros terpilih sebagai direktur jenderal WHO tidak lama setelah wabah Ebola yang mengerikan di Afrika Barat. WHO saat itu mendapat kritikan tajam karena dianggap tidak bertindak cepat untuk mencegah penularannya sejak dini.
Lahir di kota Asmara, Eritrea, tahun 1965 dan besar di wilayah Tigray, Ethiopia, Tedros meraih PhD bidang Kesehatan Masyarakat dari Universitas Nottingham dan MSc bidang Penyakit Immunologi Infeksi dari Universitas London.
Tedros menjadi anggota Front Pembebasan Rakyat Tigray yang kemudian berhasil menjatuhkan diktator Marxis Ethiopia, Mengistu Haile Mariam tahun 1991.
Keahliannya di bidang malaria membuat Tedros menjadi sosok diperhitungkan pemerintah Ethiopia.
Di tahun 2005, Tedros pun dipilih sebagai menteri kesehatan Ethiopia. Dia menjabatnya hingga 2012.
Tedros meraih pujian karena melakukan reformasi di sektor kesehatan dan meningkatkan akses pelayanan kesehatan di Ethiopia. Menurunkan angka HIV/AIDS, campak dan malaria. Dia juga memperkenalkan teknologi informasi dan internet dalam sistem kesehatan Ethiopia.
Menurut laporan Time pada 21 November 2019. Tedros membangun sistem pelayanan kesehatan utama yang berfokus pada perempuan. Sekitar 38 ribu pekerja kesehatan komunitas dikerahkan ke seluruh negeri, sehingga mengurangi angka kematian ibu dan anak hingga 60 persen.
Dia kemudian dipercaya sebagai menteri luar negeri dari tahun 2012 hingga 2016. Setahun kemudian, Tedros memenangkan pemilihan kandidat direktur jenderal WHO.
Tedros tidak luput dari manuver orang-orang yang menolaknya menjadi orang nomor satu di WHO, baik dari dalam negaranya maupun dari luar.
Sekelompok oposisi di Ethiopia menudingnya menutup-nutupi wabah kolera di negaranya. Tedros membantahnya dan menuntut balik oposisi itu.
"Mereka tahu selama kampanye mereka kehilangan alasan, mereka harus berusaha dengan upaya terakhir mereka untuk mendiskreditkan saya," kata Tedros sebagaimana dilaporkan Time, 19 November 1919.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus bertemu Presiden Xi Jinping Januari 2020. [KYODO NEWS|DAILY MAIL]
Daily Mail, 8 April 2020 melaporkan tentang upaya diplomat Cina untuk memenangkan Tedros di WHO. Media Inggris ini melaporkan para diplomat Cina terlibat dalam melakukan lobi untuk memenangkan Tedros dalam pemilihan direktur jenderal WHO.
Media The Times.co.uk melaporkan para diplomat Cina telah berkampanye keras untuk orang Ethiopia itu, menggunakan pengaruh uang Cina dan anggaran untuk membangun dukungan baginya di antara negara-negara berkembang.
Tedros disorot saat berkunjung ke Cina yang sedang diserang wabah Corona Januari 2020. Tedros bertemu Presiden Xi Jinping. Tedros memuji langkah Cina untuk mencegah penularan virus Corona dengan melakukan lockdown.
Dia juga dikritik karena lamban mengumumkan status pandemi atau wabah Corona sementara puluhan negara sudah kelimpungan menghadapi serangan virus baru yang pertama kali ditemukan di Wuhan, Cina.
Satu hal lagi yang membuat Tedros menuai kritikan ketika mengusulkan diktator Mozambik, Robert Mugabe sebagai duta kesehatan WHO.
Tedro dicurigai mau membalas upaya Cina memenangkannya di WHO. Mugabe merupakan pendukung setia Cina selama ini.
Menariknya lagi, bantuan Cina untuk WHO meningkat siginifikan di masa kepemimpinan Tedros, yakni dari US$ 2 juta di tahun 2016 menjadi US$ 38 juta di 2019. Cina pun menyatakan kesiapannya untuk menaikkan kontribusi menjadi US$ 57 juta tahun ini.
Di tengah merebak tudingan kedekatannya dengan Cina, Tedros mengeluarkan pernyataan terbuka pada awal April lalu bahwa dia menerima ancaman untuk dibunuh dan ejekan rasis.
"Saya dapat mengatakan kepada anda tentang serangan pribadi yang telah terjadi lebih dari dua atau tiga bulan, komentar rasis melecehkan, saya dijuluki hitam atau negro, untuk pertama kali saya membuat pernyataan publik, bahkan ancaman kematian," ujar Tedros sebagaimana dilaporkan Business Insider, 8 April 2020.
"Saya tidak peduli siapa mengatakan itu tentang saya. Saya mau lebih fokus pada menyelamatkan nyawa. Mari bertarung dengan kuat untuk menekan dan mengendalikan virus itu."
Ancaman rasis untuk membunuhnya muncul ketika WHO menyerukan agar negara di seluruh dunia tidak mempolitisasi wabah Corona, khususnya Cina dan Amerika Serikat.