TEMPO.CO, Jakarta - Arumi Marzudhy, TKI di Singapura memutuskan pulang kampung setelah majikannya pindah ke Thailand saat kedua negara ASEAN itu menghadapi wabah virus Corona.
Tidak disangka, kepulangan Arumi, 32 tahun, disambut dengan tatapan sinis tetangganya karena dia dianggap pembawa virus Corona ke kampung mereka.
Sampai Rabu kemarin, Arumi menuturkan kepada Tempo via pesan Whatsapp, stigma tetangga masih berlanjut. Bahkan atas pengaduan para tetangga, seorang polisi bersama aparat Babinsa berkunjung ke rumahnya di desa Plumbangan, Kecamatan Doko, Blitar, Jawa Timur.
"Sampai kemarin didatangi TNI dan polisi," kata Arumi.
Kehadiran kedua aparat itu, kata Arumi, berdasarkan pengaduan warga yang menstigma pembawa virus Corona ke kampung itu.
"Saya dilarang jogging," ujarnya mengenai pemicu pengaduan warga ke aparat.
Arumi menduga warga mempertanyakan kenapa dia baru pulang dari luar negeri tapi boleh ke luar rumah. Warga kemungkinan tidak mengetahui bahwa dirinya dan adiknya, eks TKI dari Hong Kong, melakukan isolasi mandiri selama 14 hari untuk memastikan mereka tidak tertular virus itu sekembalinya ke kampung mereka.
Arumi menceritakan dirinya menjadi TKI di Singapura sejak Agustus 2016. Majikannya warga Amerika yang tinggal di Singapura. Kemudian, pada 7 Maret lalu majikannya pindah tugas ke Thailand. "Dan saya memutuskan untuk pulang."
Arumi sempat membantu majikannya pindah ke Thailand setelah izin kerjanya dibatalkan Singapura.
Sekitar 2 minggu di Phuket, Thailand, Arumi meminta ke majikannya untuk dipulangkan ke kampungnya lebih awal. Dia pun diizinkan pulang dengan pesawat Scoot rute Phuket-Singapura- Juanda, Jawa Timur.
Petugas Puskesmas Plumbangan memeriksa kondisi kesehatan eks TKI di Singapura Arumi Marzudhy dan adiknya eks TKI di Hong Kong saat mereka berdua melakukan isolasi mandiri selama 14 hari. [ISTIMEWA]
Dari bandara Juanda, Arumi dan suami yang menjemputnya tidak langsung pulang. Mereka menginap semalam di Surabaya untuk keesokan harinya, 21 Maret, melakukan tes Covid-19.
"Ketika saya mau cek ke RS dr.Soetomo, mereka tidak menyediakan pelayanan tes hari Sabtu, jadi cuma hari Senin saja di Poli Paru," ujar Arumi.
Arumi kemudian menjalani wawancara dan ditanya apakah ada gejala terjangkit virus Corona. "Saya jawab tidak, cuma saya baru perjalanan ke dua negara terjangkit. Mereka kemudian menyarankan saya melakukan isolasi mandiri di rumah."
Setelah itu, Arumi dan suaminya pulang ke kampung dengan mengendarai bus. Di dalam bus, Arumi tetap memakai masker begitu juga suaminya. Dia juga membawa cairan pencuci tangan.
Selama di perjalanan, dia menyaksikan banyak pengamen dan penjual asongan tidak memakai masker.
Setiba di kampung, Arumi melaporkan diri ke kepala dusun. "Dan esoknya didatangi petugas puskesmas, dipantau, dikontrol dan saya isolasi mandiri 14 hari.
Menjelang masa isolasi berakhir, Arumi keluar untuk jogging di jalan desa yang jauh dari keramaian. "Pikir saya untuk menghirup udara segar yang bagus buat imum saya. Saya tidak ada gejala apapun. "
Selain itu, Arumi melaporkan perkembangan isolasi mandiri kepada petugas Puskesmas melalui Whatsapp di telepon seluler.
"Tapi rupanya beberapa warga sekitar keberatan saya lari jogging di jalan. Mereka meminta polisi dan Babinsa mendatangi rumah saya kemarin," ujar Arumi.
Kepada aparat polisi dan Babinsa, dia meminta aparat untuk mengedukasi warga agar waspada terhadap penularan virus Corona, namun tidak paranoid.
"Saya dua bulan lebih dahulu di Singapura melawan virus. Kami insyallah teredukasi dengan baik."
Pihak Puskesmas desa Plumbangan yang dimintai Tempo tanggapan atas pemeriksaan kesehatan Arumi dan adiknya, menolak berbicara dengan alasan kode etik petugas kesehatan.