TEMPO.CO, Tokyo – Tingkat belanja konsumen di Jepang turun pada Februari karena warga membeli banyak masker wajah, tisu toilet dan bahan kebutuhan pokok setelah merebaknya wabah virus Corona.
Namun, belanja publik untuk kebutuhan travel dan hiburan justru anjlok. Data pemerintah menunjukkan warga Jepang mengurangi kegiatan belanja yang dinilai tidak penting.
Ini terjadi meskipun pemerintah belum memberlakukan pembatasan kegiatan sosial dan larangan perjalanan pada Maret 2020.
“Pandemi virus Corona ini jenis krisis ekonomi yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan langsung berdampak pada tingkat konsumsi dan lapangan kerja,” kata Yasuhide Yajima, kepala ekonom dari lembaga riset ekonomi NLI Research Institute seperti dilansir Channel News Asia pada Selasa, 7 April 2020.
Yasuhide mengatakan tingkat konsumsi masyarakat bakal anjlok pada Maret. “Ini melebihi skala yang pernah terjadi. Krisis seperti ini memberi Jepang sedikit pilihan kecuali melakukan kebijakan uang helikopter seperti negara ekonomi besar lainnya,” kata dia mengenai kebijakan paket stimulus Jepang, yang merupakan negara ekonomi terbesar ketiga dunia setelah AS dan Cina.
Seperti dilansir sebelumnya, Perdana Menteri Jepang, Abe Shinzo, menyatakan negara dalam keadaan darurat untuk menangani penyebaran wabah virus Corona atau COVID-19.
Abe juga mengumumkan paket stimulus ekonomi untuk membantu masyarakat dan perusahaan yang terkena imbas ekonomi akibat berkurangnya pendapatan dengan nilai total sekitar US$990 miliar atau sekitar Rp16 ribu triliun.
“Kami telah menyatakan negara dalam keadaan darurat karena kami menilai penyebaran cepat virus Corona secara nasional akan berdampak sangat besar bagi keselamatan jiwa masyarakat dan ekonomi,” kata Abe kepada parlemen seperti dilansir Channel News Asia pada Selasa, 7 April 2020.
Abe menyatakan keadaan darurat ini berlaku di ibu kota Tokyo, Osaka dan enam prefektur lain dengan total penduduk sekitar 44 persen dari populasi. Status darurat ini berlaku selama satu bulan.
Mengenai paket stimulus ekonomi, jumlahnya Rp16 ribu triliun itu setara dengan 20 persen dari Produk Domestik Bruto Jepang.
Jumlah ini digelontorkan untuk meminimalkan kerusakan ekonomi akibat wabah virus Corona, yang menyebabkan nyaris semua kegiatan perusahaan dan usaha kecil berhenti.
Jumlah ini secara rasio lebih besar dari pada paket stimulus Amerika Serikat untuk penanganan virus Corona, yang diumumkan Presiden Donald Trump, yaitu sekitar 11 persen dari PDB. Jerman mengumumkan paket stimulus sebesar 5 persen dari total PDB.