TEMPO.CO, Jakarta - PBB mengatakan migran tanpa dokumen, pencari suaka, dan korban perdagangan masnusia, harus mendapat akses kesehatan di semua negara untuk melindungi mereka dari pandemi virus Corona.
Pada Senin pakar PBB mengatakan migran yang bekerja di sektor pertanian dan sektor bayangan lain kekurangan perlindungan terhadap COVID-19. Sementara pencari suaka di pusat penampungan atau detensi sangat rentan karena tidak bisa mempraktikan social distancing atau jaga jarak, menurut laporan penyelidik PBB, dikutip dari Reuters, 7 April 2020.
Para migran gelap, termasuk para korban perbudakan modern, yang jatuh sakit mungkin tidak mencari perawatan kesehatan karena takut diekspos kepada pihak berwenang dan ditahan, ditangkap atau dideportasi, kata para aktivis di beberapa negara.
"Hak asasi manusia harus menjadi pusat tanggapan terhadap pandemi COVID-19 ... tidak ada yang harus ditinggalkan dalam pertarungan global ini," ujar Felipe González Morales dan Maria Grazia Giammarinaro, pakar utama migran dan perdagangan manusia PBB.
"Pemerintah harus mengadopsi langkah-langkah yang memastikan setiap individu di wilayah nasionalnya, terlepas dari status migrasi mereka, dimasukkan dan memiliki akses ke layanan kesehatan untuk mencapai keberhasilan penahanan pandemi COVID-19."
Buruh migran mencoba naik bus yang ramai ketika mereka kembali ke desa mereka, selama 21 hari penutupan secara nasional untuk membatasi penyebaran penyakit virus Corona (COVID-19), di Ghaziabad, di pinggiran New Delhi, India, 29 Maret, 2020. [REUTERS / Adnan Abidi]
Komisaris Tinggi untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, mengatakan dia merasa tertekan oleh penderitaan para pekerja migran informal yang terkena dampak, banyak dari mereka, pada dasarnya, dipaksa untuk meninggalkan kota-kota di mana mereka bekerja hanya dengan pemberitahuan beberapa jam saja, tidak mampu membayar sewa atau makanan.
Michelle Bachelet, beberapa hari lalu mengatakan pentingnya memastikan langkah-langkah menanggapi COVID-19 tidak diterapkan secara diskriminatif atau memperburuk ketidaksetaraan dan kerentanan yang ada, pernyataan yang dikutip dari UN News, 2 April kemarin.
"Kurangnya pekerjaan dan uang, dan dengan transportasi umum ditutup, ratusan ribu migran yang tidak memiliki keamanan atau perlindungan pekerjaan, dipaksa untuk melakukan perjalanan ratusan kilometer ke desa asal mereka, dengan beberapa sekarat dalam perjalanan," kata kantor Dewan HAM PBB (OHCHR).
Sementara Al Jazeera melaporkan para pejabat di Yunani telah memberlakukan lockdown kamp migran kedua di dekat Athena setelah seorang warga Afganistan dinyatakan positif terkena virus Corona.
Para pejabat mengatakan kamp di Malakasa, sekitar 38 kilometer timur laut Athena, ditempatkan di bawah "isolasi sanitasi penuh" selama 14 hari, tanpa ada yang diizinkan masuk atau pergi.
Sumber kementerian migrasi mengatakan fasilitas Malakasa saat ini menampung lebih dari 1.700 orang.
Kementerian imigrasi Yunani mengatakan pria Afganistan berusia 53 tahun itu telah mencari bantuan dengan gejala virus di fasilitas medis di kamp.
Dia kemudian dibawa ke rumah sakit Athena di mana dia dinyatakan positif dan keluarganya dikarantina. Pemeriksaan kamp sedang dalam proses, kata kementerian itu.
Sementara Portugal, menurut Reuters, bulan lalu mengatakan semua orang asing dengan aplikasi residensi yang tertunda, termasuk pencari suaka, akan diperlakukan sebagai penduduk tetap sampai setidaknya 1 Juli untuk memastikan migran memiliki akses ke layanan kesehatab selama wabah.
Namun, pekerja kesehatan India dikecam pekan lalu dengan menyemprotkan sekelompok migran dengan desinfektan sementara sekitar 1.000 migran Afrika di Malta ditempatkan di bawah karantina wajib pada hari Minggu setelah COVID-19 menginfeksi delapan orang di kamp mereka.
Para ahli PBB juga menyerukan skema dukungan bagi para migran rentan dan korban perdagangan manusia untuk diperpanjang secara otomatis setidaknya selama enam bulan, untuk memastikan bahwa komunitas tersebut tidak dibiarkan tanpa perlindungan atau tanpa bantuan.
Populasi migran dan pengungsi global mencapai sekitar 272 juta tahun lalu atau naik 51 juta sejak awal dekade, sementara sekitar 25 juta orang di seluruh dunia dianggap sebagai korban kerja paksa, menurut statistik terbaru PBB.