TEMPO.CO, Jakarta - Amerika Serikat pada Selasa, 3 Maret 2020, mengumumkan akan menggelontorkan dana bantuan kemanusiaan tambahan senilai US$ 108 juta atau Rp 1,5 triliun untuk warga sipil Suriah korban perang yang mengoyak negara itu. Dengan begitu, total bantuan kemanusiaan yang sudah dikucurkan Amerika Serikat sejak meletupnya perang sipil Suriah sebesar US$ 10,6 miliar (Rp 149 triliun).
“Hari ini di Turki, perwakilan Amerika Serikat untuk PBB, Duta Besar Kelly Craft, mengumumkan US$ 108 juta sebagai bantuan kemanusiaan bagi masyarakat Suriah menyusul krisis yang disebabkan oleh rezim Assad, Rusia dan pasukan militer Iran,” kata Juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, Morgan Ortagus, seperti dikutip dari aa.com.tr.
Pengendara motor melewati puing-puing gedung yang rusak akibat perang di kamp Yarmouk Palestina, Damaskus, Suriah, Rabu, 10 Oktober 2018. Distrik ini baru berhasil direbut pasukan pemerintah lima bulan lalu. REUTERS/Omar Sanadiki
Ortagus menggaris bawahi, bantuan ini terdiri dari US$ 56 juta dari Biro urusan populasi, pengungsi dan imigran yang ada di bawah Kementerian Luar Negeri dan lebih dari US$ 52 juta dari Badan bagi Pengembangan Internasional (USAID).
“Sejak 1 Desember 2019, penyerangan yang dilakukan oleh rezim Suriah, Rusia dan pasukan militer Iran telah mendorong hampir 950 ribu masyarakat di barat laut Suriah, mengungsi. Dari jumlah tersebut, lebih dari 80 persen adalah perempuan dan anak-anak. Ini krisis yang luar biasa sejak perang Suriah terjadi,” kata Ortagus.
Uang bantuan Amerika Serikat itu rencananya akan diserahkan melalui Komiti Tinggi PBB untuk pengungsi atau UNHCR, Organisasi Internasional Migrasi atau IOM, Badan Koordinasi PBB untuk urusan kemanusiaan dan Badan Pangan Dunia atau WFP serta lembaga nirlaba lainnya.
Menurut Ortagus, Amerika Serikat sangat mendukung rekomendasi Sekjen PBB Antonio Guterres yang merekomendasikan pembukaan wilayah perbatasan Suriah – Turki untuk bisa mendistribusikan obat-obatan dan bantuan. Suriah di kecamuk perang sipil sejak awal 2011 ketika pemerintah Presiden Bashar al-Assad diserang gelombang unjuk rasa pro-demokrasi.