TEMPO.CO, Singapura – Ilmuwan dari Amerika hingga Australia menggunakan teknologi baru untuk mengembangkan vaksin virus Corona atau COVID-19 untuk menangani wabah di Cina.
Virus yang menyebabkan sakit paru-paru ini menyebar dengan cepat ke 24 negara lain sejak Desember 2019.
Baca Juga:
Jumlah korban tewas telah mencapai sekitar 2 ribu orang dengan korban terinfeksi sekitar 70 ribu lebih.
Selama ini, proses pembuatan vaksin membutuhkan waktu beberapa tahun dan melibatkan banyak tes ke hewan, uji klinis hingga persetujuan lembaga resmi.
“Ini merupakan situasi tegangan tinggi dan ada beban berat pada kami,” kata peneliti Keith Chappell, yang menjadi bagian ari tim peneliti di Australia University of Queensland.
Namun, dia mengaku merasa cukup terbantu mengetahui sejumlah tim besar di seluruh dunia ikut berlomba dengan waktu membuat vaksin virus ini.
“Harapannya adalah vaksin virus Corona ini akan sukses dan bisa membendung wabah ini,” kata Chappell.
Upaya ini dipimpin oleh Coalition for Epidemic Preparednes Innovations atau CEPI, yang berdiri pada 2017. Lembaga ini membiayai riset bioteknologi mahal sejak merebaknya wabah Ebola di Afrika Barat, yang menewaskan sekitar 11 ribu orang.
Saat ini, CEPI mengguyur dolar pembuatan vaksin virus Corona untuk empat proyek di seluruh dunia. Lembaga ini juga meminta lebih banyak proposal pembuatan vaksin untuk dibiayai.
CEO CEPI, Richard Hatchett, mengatakan tujuannya adalah untuk memulai proses uji klinis dalam 16 pekan.
Ada tiga perusahaan swasta yang ikut terlibat yaitu CureVac dan Moderna Therapeutics, yang masing-masing berasal dari Jerman dan AS. Juga ada perusahaan Inovio, yang membuat vaksin berdasarkan teknologi DNA untuk menangani virus Corona.