TEMPO.CO, Phnom Penh – Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, mengatakan negaranya tidak akan tunduk kepada tuntutan negara asing.
Hun Sen mengatakan ini sehari menjelang keluarnya keputusan Uni Eropa soal apakah akan memperpanjang perlakuan khusus perdagangan kepada Kamboja, yang dilanda isu pelanggaran HAM saat pemerintahan Hun Sen berkuasa.
Selama ini Kamboja mendapatkan manfaat dari UE dalam program perdagangan Everything But Arms atau EBA. Ini memberikan fasilitas bebas bea masuk kepada negara-negara yang paling tidak berkembang ekonominya untuk mengekspor produk ke UE.
“Kami menyerukan kepada rakyat Kamboja untuk berdiri melindungi kemerdekaan, kedaulatan dan perdamaian. Kita tidak boleh tunduk kepada siapapun. Kita harus kerja keras untuk hidup,” kata Hun Sen.
Dia mengatakan negaranya ingin berteman dan menjadi mitra semua negara di dunia.
“Tapi jika mereka tidak memahami kita dan ingin memaksa kita, kita tidak setuju,” kata Hun Sen.
Dia juga mengatakan negaranya telah mengalami berbagai peperangan dan tragedi namun ini tidak menghancurkan Kamboja.
Saat ini, industri garmen di Kamboja merupakan penyerap lapangan kerja terbesar. Industri ini menghasilkan US$7 miliar atau sekitar Rp5.6 triliun per tahun.
Menurut data pemerintah, Kamboja mengekspor ke UE senilai US$5.4 miliar atau sekitar Rp73.8 triliun per tahun.
Sebuah dokumen yang diunggah di situs UE menunjukkan ada pencabutan sejumlah produk asal Kamboja dari program EBA. Tapi, produk beras tidak termasuk.
Pemimpin oposisi Sam Rainsy, yang dalam pengasingan, mengatakan Hun Sen sebaiknya mematuhi tuntutan UE. Ini bertujuan mengembalikan kebebasan fundamental di negara ini.
“Meskipun hanya pencabutan sebagian fasilitas program EBA, itu sudah menyedihkan karena berdampak pada ekonomi,” kata Rainsy.
Pemerintah Kamboja dengan dukungan Mahkamah Agung telah membubarkan partai oposisi CNRP dengan alasan pengkhianatan. Pemerintahan Hun Sen menuding CNRP mendapat dukungan AS untuk menggulingkan pemerintahannya.