TEMPO.CO, Jakarta - Penasihat senior bidang medis di Cina pada Selasa, 11 Februari 2020, memproyeksi wabah virus corona dapat berakhir pada April 2020 mendatang. Pada hari yang sama, provinsi Hubei, tempat virus corona berasal melaporkan ada 94 pasien terjangkit virus corona dan 1,068 kasus baru. Jumlah ini menurun cukup drastis dibanding 4 Februari lalu, yang terdapat lebih dari tiga ribu kasus dan jumlah pasien terinfeksi sebanyak lebih dari seribu orang pada 31 Januari.
Penurunan angka tersebut semakin menambah optimis bahwa kasus virus corona dapat segera berakhir. Penasihat medis terkemuka Cina, Zhong Nanshan mengatakan jumlah kasus baru menurun di beberapa provinsi dan memperkirakan wabah akan memuncak pada bulan ini.
"Saya berharap wabah ini dapat berakhir pada bulan April," kata Zhong, seorang ahli epidemiologi.
Seorang pria yang mengenakan masker berjalan di Ditan Park, Beijing, Cina, 24 Januari 2020. Pemerintah Cina memutuskan membatalkan sejumlah perayaan tahun baru Imlek di beberapa tempat untuk mencegah penyebaran virus Corona. REUTERS/Carlos Garcia Rawlins
Hingga saat ini, WHO dan pejabat kesehatan di Cina telah mengkonfirmasi total kasus akibat virus corona menembus angka 44 ribu. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan virus corona sebagai ancaman global yang berpotensi lebih buruk daripada terorisme. Hal ini semakin diperkuat dengan jumlah total kematian akibat virus corona yang melampaui seribu orang di Cina.
"Dunia harus sadar dan menganggap virus ini sebagai musuh nomer satu dunia," kata ketua WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus kepada wartawan.
Ghebreyesus menambahkan virus corona telah berdampak pada pergolakan politik, sosial, dan ekonomi dibanding aksi terorisme apapun.
Sejauh ini Cina telah mengalami kemerosotan di sektor ekonomi akibat wabah virus corona yang tak kunjung berakhir. Di antara dampak yang muncul adalah pembatasan perjalanan dari dan ke luar negeri, adanya proses karantina, penangguhan proses produksi di sektor industri yang semakin membuat kondisi ekonomi Cina terpuruk.
SAFIRA ANDINI | REUTERS