TEMPO.CO, Jakarta - Penasihat senior Donald Trump, Jared Kushner, mengatakan jika Palestina tidak memenuhi syarat di bawah proposal perdamaian Timur Tengah yang digagas Amerika Serikat, maka Israel tidak harus mengakui Palestina sebagai negara berdaulat.
Hal ini disampaikan Kushner saat wawancara dengan Fareed Zakaria dari CNN, 3 Februari 2020.
Saat wawancara, Fareed Zakaria meminta Kushner untuk menjabarkan syarat dalam perjanjian tersebut, yang memungkinkan Palestina membentuk negara merdeka.
Kushner menjabarkan syarat untu Palestina, termasuk kebebasan pers, pemilu bebas, jaminan kebebasan beragama, lembaga peradilan dan keuangan independen, seperti transparansi di negara Barat.
Namun, Fareed Zakarian menanggapiu bahwa tidak ada negara Arab saat ini yang memenuhi krieria yang dituntut untuk Palestina dalam empat tahun ke depan.
"Bukankah ini hanya cara untuk memberi tahu orang-orang Palestina bahwa mereka tidak akan benar-benar mendapatkan negara," tanya Zakaria. "Karena...jika tidak ada negara Arab hari ini dalam posisi yang Anda tuntut dari orang-orang Palestina sebelum mereka dapat mendirikan negara, secara efektif, ini adalah amendemen pembunuh."
Jared Kushner bersusah payah menanggapi pertanyaan Zakaria.
"Apakah Anda mengatakan bahwa kita seharusnya tidak memiliki kriteria ini, mengatakan, Anda tahu, 'Tidak apa-apa jika Anda tidak ingin menghormati hak asasi manusia, jika Anda ingin tidak membiarkan orang berbicara dengan bebas, jika Anda tidak ingin memiliki minat di dalamnya'," kata Kushner. "Pertanyaannya adalah, bagaimana kita membuat Israel membuat kompromi dengan sengketa wilayah?"
Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berjalan ke Kantor Oval Gedung Putih di Washington DC. [Kevin Lamarque / Reuters]
Kushner kemudian memaparkan ringkasan sejarah konflik, mencatat bahwa Israel telah menjadi "kekuatan besar" meskipun "diserang berkali-kali dalam sejarah."
"Sebaliknya, warga Palestina terjebak di bawah aturan yang Anda miliki sekarang," kata Kushner. Kushner menggambarkan sistem itu sebagai "negara polisi" dan mencatat bahwa itu bukan demokrasi yang berkembang pesat.
"Untuk Palestina, jika mereka ingin rakyatnya menjalani kehidupan yang lebih baik, kami sekarang memiliki kerangka kerja untuk mewujudkannya," kata Kushner.
"Jika mereka tidak berpikir bahwa mereka dapat menegakkan standar ini, maka saya tidak berpikir kita bisa membuat Israel mengambil risiko untuk mengakui mereka sebagai negara, untuk memungkinkan mereka memerintah diri mereka sendiri, karena satu-satunya hal yang lebih berbahaya dari apa yang kita miliki sekarang adalah situasi gagal."
Kepala perunding Palestina Saeb Erakat mengecam pernyataan Kushner yang secara sepihak memutuskan seperti apa penyelesaian damai tanpa melibatkan dua pihak.
"Apa yang tersisa untuk dinegosiasikan? Ketika saya mengatakan masalah ini harus dinegosiasikan antara kami dan Israel secara langsung, Kushner menjawab dengan memanggil saya negosiator yang gagal, tidak dapat bernegosiasi. Dia bernegosiasi atas nama saya karena dia tahu lebih baik daripada saya. Ini adalah seni mendikte, arogansi, dan memeras," kata Erekat.
Saeb Erekat belum berhubungan langsung dengan pemerintahan Trump selama dua tahun lebih dan bukan bagian dari presentasi rencana tersebut, yang dihadiri oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih.
Dikuti dari Haaretz, pada Sabtu seorang diplomat Arab mengatakan bahwa Amerika Serikat tidak mengungkapkan rincian lengkap rencana perdamaian Timur Tengah-nya kepada negara-negara Arab sebelum perilisannya, yang menurut diplomat itu adalah alasan mengapa perwakilan dari tiga negara Arab menghadiri acara pembukaan pekan lalu, sebuah langkah yang dikritik tajam oleh Palestina.
Trump telah menggambarkan "Kesepakatan Abad ini" sebagai solusi dua negara yang realistis, tetapi kesepakatan sepihak itu hanya memenuhi hampir setiap permintaan utama Israel dan segera ditolak oleh Palestina.