TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga anti-korupsi Malaysia menyelidiki tuduhan yang dilayangkan Serious Fraud Office di Inggris atau SFO bahwa produsen pembuat pesawat terbang Airbus membayar uang suap sebesar US$ 50 juta atau Rp 688 miliar agar bisa memenangkan tender pesawat dari maskapai AirAsia.
Sebelumnya pada Jumat, 31 Januari 2020, SFO mengatakan Airbus sudah gagal mencegah individu melakukan suap terkait AirAsia Group dan anak usahanya AirAsia X. Menanggapi tuduhan ini, AirAsia mengatakan tidak pernah mengambil keputusan pembelian pesawat yang dijanjikan atas sponsor Airbus. AirAsia akan bekerja sama sepenuhnya dengan komisi anti-korupsi Malaysia.
Logo Airbus terlihat di pintu masuk lokasi perakitan akhir Airbus A380 di markas Airbus di Blagnac, dekat Toulouse, Prancis 14 Februari 2019. Airbus masih akan memproduksi 17 pesawat lagi dengan 14 pesawat untuk maskapai Emirates dan 3 untuk ANA dari Jepang. Airbus A380 akan berhenti beroperasi pada 2021 besok. REUTERS/Regis Duvignau
Dalam pernyataannya, AirAsia juga meyakinkan tidak pernah terlibat dalam penyelidikan yang dilakukan SFO terhadap Airbus atau diberikan kesempatan menyampaikan klarifikasi.
“AirAsia sangat menentang dan menolak setiap tuduhan yang salah. AirAsia tidak memiliki visibilitas dalam proses internal Airbus sehingga kami tidak bisa berkomentar atau dikaitkan dengan semua tuduhan yang salah itu atau penyimpangan yang diduga bagian dari upaya Airbus memenuhi kebijakannya atau persyaratan hukum yang berlaku,” tulis AirAsia dalam keterangan, seperti dikutip dari asiaone.com, Minggu, 2 Februari 2020.
Airbus menolak berkomentar mengenai hal ini.
Sebelumnya pada Jumat, 31 Februari 2020, Airbus menyetujui sebuah catatan soal uang penyelesaian sebesar US$ 4 miliar atau Rp 55 triliun dengan Prancis, Inggris dan Amerika Serikat setelah jaksa penuntut menyebut produsen pembuat burung besi itu sudah menyuap pejabat publik dan menyembunyikan uang pembayaran sebagai bagian dari sebuah pola korupsi dunia. Kesepakatan itu, memungkinkan Airbus menghindari eksekusi hukum yang bisa mengarah pada larangan membuat kontrak kerja di Amerika Serikat dan negara-negara lain di Uni Eropa.
Kasus ini terbongkar setelah sebuah investigasi dilakukan untuk mencek penjualan secara menyeluruh terhadap puluhan pasar Airbus di luar negeri. Kepala komisi anti-korupsi Malaysia, Latheefa Koya, mengatakan pihaknya memiliki yuridiksi dan kewenangan untuk menginvestigasi setiap dugaan tindak kejahatan korupsi yang dilakukan warga negara Malaysia atau penduduk tetap negara itu, meskipun tempat kejadian perkaranya di luar Malaysia.