TEMPO.CO, Jakarta - Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, Filippo Grandi, memperingatkan negara-negara di dunia agar mempersiapkan diri sebelum terjadinya gelombang pengungsi yang berpotensi muncul akibat jutaan orang terusir dari negara mereka karena dampak perubahan iklim.
Peringatan itu disampaikan Grandi dihadapan pemimpin dunia yang hadir dalam Forum Ekonomi Dunia, Selasa, 21 Januari 2020, yang sekaligus berkaca pada keputusan Komite HAM PBB pada Senin, 20 Januari 2020 bahwa masyarakat yang terusir akibat perubahan iklim harus diperlakukan oleh negara penerima sebagai pengungsi, dengan implikasi luas bagi pemerintah.
Keputusan Komite HAM PBB itu terkait kasus warga negara Kiribati, Ioane Teitiota, yang meminta suaka ke Selandia Baru karena negaranya terkena dampak perubahan iklim, namun suaka itu ditolak negara penerima.
“Putusan itu mengatakan jika seseorang menghadapi ancaman langsung pada hidupnya karena perubahan iklim, karena keadaan darurat iklim, dan jika seseorang itu melintasi perbatasan dan pergi ke negara lain, maka dia tidak boleh dikirim kembali ke negaranya karena orang tersebut berisiko menjalani hidup seperti dalam perang atau dalam situasi penganiayaan. Kita harus siap menghadapi gelombang besar orang yang bergerak di luar kemauan mereka. Saya tidak berani berbicara tentang angka-angka tertentu, itu terlalu spekulatif, tapi tentu saja kita berbicara tentang jutaan orang di sini, ”kata Grandi.
Kebakaran hutan seperti yang terjadi di Australia, bisa mendorong naiknya permukaan laut yang kemudian mempengaruhi pulau-pulau di dataran rendah, rusaknya tanaman dan ternak di Afrika sub-Sahara dan banjir di seluruh dunia, termasuk di beberapa bagian negara maju.
Selama hampir 70 tahun, UNHCR fokus bekerja membantu mereka yang melarikan diri dari negara-negara miskin sebagai akibat konflik, sedangkan perubahan iklim dampaknya lebih membabi buta. Itu berarti, pengungsi yang berlindung ke negara-negara kaya kemungkinan bakal meningkat. UNHCR adalah Lembaga PBB yang mengurusi masalah pengungsi.
"Ini adalah bukti lebih lanjut bahwa pergerakan pengungsi dan masalah migrasi populasi yang lebih luas adalah tantangan global yang tidak dapat dibatasi terjadi pada beberapa negara," kata Grandi.
UNHCR sebelumnya sudah menaikkan anggaran pengeluarannya dari US$ 1 miliar atau Rp 13 miliar per tahun pada awal 1990-an menjadi US$ 8,6 miliar atau lebih dari Rp 109 miliar pada 2019 ketika konflik di Irak, Afghanistan, dan Suriah memaksa warga sipil melarikan diri. Sekarang, UNHCR dihadapkan pada tantangan harus membantu lebih dari 70 juta orang yang mengungsi.
Turki adalah negara penerima pengungsi terbesar, dengan lebih dari 4 juta pengungsi dan pencari suaka, yang mayoritas dari Suriah. Kondisi ini telah membuat tekanan pada anggaran keuangan publik Pemerintah Turki dan membuat Presiden Turki, Tayyip Erdogan, terpaksa meminta lebih banyak uang bantuan dari Eropa.
Pada November 2019, Presiden Erdogan bahkan mengancam akan membuka pintu bagi para pengungsi Suriah untuk pergi ke Eropa kecuali jika Uni Eropa mengambil langkah nyata. Presiden Erdogan juga menyerukan program pembangunan kembali pemukiman bagi satu juta pengungsi asal Suriah di wilayah utara tanah air mereka sendiri.
Grandi mengatakan pemerintah negara-negara Eropa perlu berpikir keras tentang solusi untuk krisis migran yang telah mempengaruhi mereka sejak 2015, tetapi saat yang sama harus memperlihatkan sikap memahami tentang situasi yang dialami Turki.
"Kita harus menyadari bahwa selama beberapa tahun terakhir (Turki) telah menjadi tuan rumah bagi populasi pengungsi terbesar di dunia. Ada banyak pembicaraan politik. Saya berkonsentrasi pada substansi, yakni mari kita memperkuat kemampuan Turki untuk menampung para pengungsi sampai mereka dapat kembali dengan aman dan secara sukarela pulang ke negara mereka," kata Grandi.
Galuh Kurnia Ramadhani | english.alarabiya.net