TEMPO.CO, Jakarta - Setelah DPR Taiwan mengesahkan Undang-Undang Anti-Infiltrasi (Anti-infiltration Act) pada 31 Desember lalu, Presiden Tsai Ing-wen resmi mengimplementasikan undang-undang pada 15 Januari.
Undang-undang ini adalah upaya Taiwan untuk memperkuat pertahanan demokrasi dan hubungan lintas selat.
Anti-infiltration Act Taiwan serupa dengan undang-undang pertahanan lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.
Kekhawatiran Taiwan terhadap infiltrasi asing, terutama dari Cina, membuat Taiwan mengesahkan hukum mekanisme pertahanan demokrasi.
Pada 2019, pemerintah Cina mengusulkan "5 usulan Xi" yang akan mempercepat proses penyatuan kembali Taiwan dengan Cina.
Dalam rilis Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taipei di Jakarta (TETO) yang diterima Tempo, 24 Januari 2020, Dewan Legislatif Yuan atau anggota DPR Taiwan mengesahkan Anti-infiltration Act yang intinya melarang siapa pun menerima instruksi, titipan, atau pendanaan musuh asing, terlibat dalam sumbangan politik ilegal, bantuan kampanye pemilu, lobi, demonstrasi umum dan ketertiban sosial, serta penyebaran informasi palsu dalam proses pemilu.
Menurut TETO, UU Anti-Infiltrasi menjamin pelindungan hak asasi manusia dan demi mempertahankan hubungan lintas selat yang stabil.
Undang-undang, yang disahkan tepat sebelum pemilihan presiden dan legislatif 11 Januari dan secara resmi diumumkan pada 15 Januari, menyebabkan kegelisahan di beberapa kalangan karena mereka pikir itu mungkin membatasi hubungan bisnis dengan Cina, dikutip dari Taiwannews.
Namun, undang-undang tersebut terutama menargetkan campur tangan asing dalam pemilihan Taiwan, seperti pendanaan politisi Taiwan.
"Anti-Infiltration Act mencegah keterlibatan kekuatan asing dalam politik, sehingga hubungan lintas selat menjadi tidak rumit, mencegah campur tangan asing yang tidak perlu, sehingga rakyat Taiwan bisa melakukan hubungan timbal balik dengan penuh rasa aman," menurut rilis TETO.