TEMPO.CO, Washington – Imigrasi di bawah pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mendeportasi seorang mahasiswa Iran meskipun lembaga American Civil Liberties Union mencoba melawan upaya itu.
Mahasiswa itu bernama Mohammad Shahab Dehghani Hossein Abadi, 24 tahun, yang sedang berkuliah di Northeastern University.
Deportasi ini terjadi setelah lembaga imigrasi AS yaitu US Custom and Border Protection mengumumkan pengetatan keamanan di tengah ketegangan militer dengan Iran.
Tindakan ini memunculkan pertanyaan mengenai perlakuan adil oleh lembaga imigrasi AS di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump terhadap warga Iran di sana.
Senator asal Massachusetts, Elizabeth Warren, yang merupakan kandidat calon Presiden utama dari Partai Demokrat mengecam keputusan pemerintahan Trump itu.
Warren meminta imigrasi untuk menghentikan deportasi Abadi pada Senin malam dan berjanji untuk melawan kebijakan xenofobia Trump.
Pengacara asal Boston, Kerry Doyle, membela Abadi bersama sejumlah pengacara dari dua kantor pengacara swasta dan ACLU.
Doyle mengatakan Abadi menunjukkan dokumen imigrasi elektronik, yang menyatakan dia dilarang masuk AS karena ada kekhawatiran dia akan tetap berada di negara itu melebihi masa visanya sebagai mahasiswa.
Seorang pejabat dari department Homeland Security mengatakan petugas merasa khawatir Abadi memiliki anggota keluarga yang berbisnis dengan kelompok Hizbullah. Ini merupakan salah satu faksi politik dan militer di Lebanon, yang ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh AS.
Namun, Doyle menolak tuduhan itu. Dia mengatakan ringkasan wawancara Abadi dengan petugas imigrasi menunjukkan adanya kerancuan mengenai identitas ayahnya.
“Itu menunjukkan ada seseorang yang namanya mirip atau adanya kekeliruan,” kata Doyle.
Kasus ini ditangani oleh hakim distrik Allison Brurroughs, yang mengeluarkan putusan penghentian sementara proses deportasi Abadi selama 48 jam hingga masalah ini menjadi jelas.
Ini terjadi setelah ACLU melakukan petisi. Namun, saat itu Abadi telah berangkat dengan pesawat meninggalkan AS.
Hubungan AS dan Iran memanas setelah Presiden Trump memerintahkan pembunuhan komandan pasukan Al Quds, Jenderal Qassem Soleimani, pada awal Januari 2020 ini.
Trump beralasan Soleimani mengincar empat kantor kedubes AS. Namun, penjelasan Trump ini tidak mendapat dukungan dari pejabat di kementerian Pertahanan.
Iran, seperti dilansir Reuters, membalas serangan AS dengan menembakkan sejumlah rudal mengenai dua pangkalan militer AS di Irak. Sebuah pesawat terbang sipil milik Ukraina tertembak dalam insiden salah tembak militer Iran.