TEMPO.CO, Washington – Pemerintah Amerika Serikat mendesak Cina untuk ikut dalam pembicaraan nuklir trilateral dengan Rusia.
AS menilai kerahasiaan Cina yang diduga menumpuk senjata nuklir menjadi ancaman tersendiri terhadap stabilitas strategis global.
“Kami pikir karena stok senjata nuklir Cina bakal bertambah dua kali lipat dalam sepuluh tahun ke depan, ini saatnya untuk ikut dalam pembicaraan trilateral,” kata Robert Wood, duta besar perlucutan senjata nuklir AS, kepada media seperti dilansir Reuters pada Selasa, 21 Januari 2020.
AS telah membicarakan soal ini dengan Rusia pada pekan lalu dan bakal melanjutkannya. “Kita tidak bisa terus menunggu,” kata dia.
Presiden AS, Donald Trump, mengatakan pada pekan lalu bahwa dia telah membicarakan kesepakatan nuklir baru untuk membatasi pengembangan senjata nuklir dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Dia berharap Cina bisa ikut terlibat dalam kesepakatan besar tiga negara pemilik senjata nuklir ini. Namun, pemerintah Cina menolak ikut serta sejauh ini.
Saat Wood ditanya bagaimana caranya agar Cina ikut serta dalam perjanjian nuklir ini, dia berharap Rusia bisa membantu.
“Semoga lewat pengaruh pihak lain selain AS, mereka (Cina) akan mau ikut. Kami pikir ini penting untuk keamanan global,” kata dia.
Pada pekan lalu, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, mengatakan negaranya siap untuk pembicaraan tiga pihak. Tapi, Rusia tidak akan memaksa Cina untuk mengubah posisinya saat ini.
Sebelum ini, otoritas Cina mengatakan negaranya memiliki level terendah senjata nuklir untuk kepentingan nasional. Ini tidak sebanding dengan senjata nuklir yang dimiliki Rusia dan AS.
Secara terpisah, media South China Morning Post melansir militer Cina mempercepat pembangunan kapal selam bersenjata nuklir baru.
Kapal selam ini dirancang mampu membawa rudal berhulu ledak nuklir yang mampu menyasar AS. Kapal selam itu berkode JL-3 atau Julang atau Rudal Gelombang Besar. Ini akan dipasangkan ke kapal selam canggih generasi terbaru. Rudal canggih ini sudah pernah diluncurkan dari Teluk Bohai di Laut Kuning pada Desember 2019 dan mendarat di Gurun Gobi di Xinjiang.