TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Staf Angkatan Bersenjata India menyarankan agar warga Kashmir dimasukkan ke kamp deradikalisasi, yang dianggap aktivis sebagai langkah untuk meniru kamp indoktrinasi Uighur Cina di Xinjiang.
Tidak jelas apa yang dimaksud Jenderal Bipin Rawat, kepala staf pertahanan India, ketika dia membuat komentar publik pada hari Kamis atau apakah sebuah rencana sedang berlangsung untuk mendirikan kamp pendidikan ulang skala besar di bagian dari wilayah Kashmir yang kini dikontrol India.
Menurut laporan New York Times, 19 Januari 2020, Jenderal Rawat menyarankan orang-orang Kashmir dikirim ke kamp-kamp deradikalisasi pada sebuah konferensi urusan internasional di New Delhi yang dihadiri oleh pejabat pemerintah, diplomat asing, eksekutif bisnis dan para sarjana.
Tetapi aktivis hak asasi dan intelektual Kashmir gelisah, mengatakan bahwa kata-kata jenderal itu mengungkapkan bagaimana petinggi militer India memandang orang-orang Kashmir.
"Mengejutkan dia bahkan menyarankan ini," kata Siddiq Wahid, seorang sejarawan Kashmir yang meraih gelar PhD dari Harvard. "Itu mengingatkan saya pada kamp-kamp Uighur di Cina. Saya tidak berpikir sang jenderal menyadari kegilaan dari apa yang dia bicarakan."
Selama tiga tahun terakhir, pemerintah Cina telah mengirim sejuta etnis Uighur, Kazakh, dan minoritas lainnya ke dalam kamp yang disebutnya pusat pelatihan kejuruan, tetapi apa yang dikatakan aktivis hak adalah kamp dan penjara interniran. Orang-orang Uighur, seperti Kashmir, adalah Muslim yang merupakan bagian dari minoritas yang sering dipandang curiga oleh pemerintah pusat.
India telah mengirim ribuan pasukan tambahan, menangkap hampir seluruh tokoh intelektual di sana, termasuk politisi terpilih, pebisnis dan mahasiswa, dan mematikan internet.
Partai Narendra Modi telah mendorong ideologi nasionalis religius yang menurut para kritikus menguntungkan mayoritas Hindu India dan sangat mengasingkan minoritas Muslim India.
Bulan lalu, pemerintah Modi mengesahkan undang-undang yang menciptakan jalur khusus bagi migran untuk mendapatkan kewarganegaraan India, terkecuali Muslim. Kemarahan atas undang-undang tersebut memicu protes antipemerintah berminggu-minggu.
Kashmir adalah satu-satunya negara bagian di India yang mayoritas penduduknya Muslim sampai Agustus, ketika pemerintahan Modi dengan cepat menghapus statusnya. Sejak itu, Kashmir masih diselimuti ketegangan dengan sebagian besar layanan internet masih ditutup dan sekolah sepi.
Personel keamanan India berjaga di sepanjang jalan sepi selama pembatasan di Jammu. Ribuan pasukan keamanan India dikerahkan untuk mengantisipasi protes di Kashmir pada Rabu, dibantu oleh pemutusan layanan telepon dan internet setelah status khusus wilayah Himalaya dihapuskan pekan ini. [REUTERS / Mukesh Gupta]
Menanggapi pertanyaan tentang bagaimana memerangi terorisme, sang jenderal mengatakan bahwa di Kashmir anak perempuan dan laki-laki usia 10 sampai 12 sekarang sudah teradikalisasi. "Orang-orang ini masih dapat diisolasi dari radikalisasi secara bertahap, tetapi ada orang yang telah sepenuhnya diradikalisasi," katanya.
"Orang-orang ini perlu dikeluarkan secara terpisah, mungkin dibawa ke beberapa kamp deradikalisasi," lanjutnya. "Kami memiliki kamp deradikalisasi di negara kami."
Pernyataannya menjadi tajuk utama di seluruh India pada hari Jumat.
Saket Gokhale, seorang aktivis hak asasi di Mumbai, mengatakan ini adalah yang pertama kali ia dengar tentang kamp deradikalisasi di India.
Dia mengatakan bahwa di beberapa daerah di mana pasukan keamanan memerangi kelompok-kelompok bersenjata, seperti sabuk Maois di India tengah, militer menjalankan program deradikalisasi termasuk kunjungan masyarakat dan pelatihan kejuruan. Tapi itu sukarela dan tidak melibatkan penahanan.
"Ada program penjangkauan, tetapi program deradikalisasi sangat berbeda dari kamp deradikalisasi," kata Gokhale.
Para pejabat militer India menolak untuk mengklarifikasi pernyataan jenderal tersebut.
Jenderal Rawat, seorang jenderal bintang empat, telah menghabiskan sebagian besar karirnya dalam operasi kontra-pemberontakan terkemuka di timur laut India dan Kashmir, yang juga diklaim oleh Pakistan. Dia memiliki sejarah menggunakan taktik brutal.
Pada 2017, ia memberikan penghargaan kepada seorang mayor yang telah mengikat seorang pemuda Kashmir ke sebuah jip tentara dan menggunakannya sebagai perisai manusia terhadap pengunjuk rasa pelempar batu.
"Sebenarnya, saya berharap orang-orang ini, bukannya melempari kami dengan batu, malah menembaki kami," kata sang jenderal dalam sebuah wawancara saat itu. "Kalau seperti itu saya pasti senang."
Jika para demonstran menggunakan senjata, kata jenderal itu, maka dia dapat melakukan apa yang dia inginkan.
Banyak intelektual Kashmir menyangkal bahwa Kashmir memiliki masalah radikalisasi, setidaknya bukan masalah radikalisasi agama. Militan di Kashmir sangat kecil, kurang dari 300 anggota bersenjata menurut sebagian besar perkiraan, dan sebagian besar ideologi milisi Kashmir mengubah perbedaan politik dengan pemerintah India, bukan berdasarkan alasan religius.