TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Donald Trump mengatakan Jenderal Garda Revolusi Iran Qassem Soleimani berencana meledakkan Kedubes AS di Irak setelah ia mendarat di Baghdad.
Sejak kematian Qassem Soleimani, Iran telah menembakan 16 Rudal ke pangkalan-pangkalan AS di Irak.
"Kami menangkap monster dan kami menyingkirkannya dan itu seharusnya sudah lama terjadi. Kami melakukannya karena mereka ingin meledakkan kedutaan kami," kata Trump kepada wartawan di Gedung Putih, seperti dikutip dari Reuters, 10 Januari 2020.
Trump mengatakan Amerika Serikat juga melakukan serangan tersebut karena serangan roket ke pangkalan militer AS di Irak dilakukan seorang milisi yang didukung Iran pada bulan Desember yang menewaskan seorang kontraktor AS, yang menurut para pejabat AS percaya Soleimani memiliki andil dalam serangan roket tersebut.
Serangan udara AS kemudian diprotes keras oleh para pendukung milisi yang didukung Iran di luar kedutaan AS di Baghdad. Trump mengatakan Soleimani ingin protes itu menjadi lebih besar.
"Itu adalah plot yang sangat terorganisir. Dan Anda tahu siapa yang mengaturnya. Pria itu sekarang tidak ada lagi. Oke? Dan dia memikirkan jauhari terkait kedutaan itu," katanya.
Komandan Pasukan Elit Quds dari Korps Garda Revolusi Iran, Soleimani. Fars News
DIkutip dari CNN, seorang pejabat pertahanan senior mendukung pernyataan Trump pada hari Kamis, mengatakan bahwa AS memiliki intelijen tentang berbagai plot dan ancaman yang melibatkan Soleimani, termasuk yang melibatkan rencana untuk menyerang kedutaan menggunakan bahan peledak.
Plot itu terpisah dan lebih canggih daripada upaya untuk menyerbu kedutaan AS di Baghdad oleh bom molotov yang digunakan anggota Khatib Hizbullah dan para pendukungnya.
Pejabat itu menambahkan bahwa pemerintah AS prihatin dengan ancaman yang ditimbulkan oleh kelompok-kelompok terkait Iran ke beberapa kedutaan besar AS pada periode menjelang serangan terhadap Soleimani, termasuk kedutaan AS di Beirut, Lebanon.
Dua anggota Partai Republik Senat dan Demokrat dari Kongres pada hari Rabu mengecam pemerintah mengenai alasan serangan tersebut setelah pengarahan oleh Menlu Mike Pompeo dan Menhan Mark Esper. Beberapa anggota parlemen mengatakan mereka tidak melihat intelijen spesifik yang menunjuk pada ancaman segera dari Qassem Soleimani yang membenarkan serangan.
Milisi Hashd al-Shaabi (pasukan paramiliter) mencoba memasuki Kedutaan Besar AS selama protes mengutuk serangan udara di pangkalan mereka, di Baghdad, Iralk, 31 Desember 2019. [Thaier Al-sudani / Reuters]
Militer AS telah mengerahkan ribuan pasukan militer tambahan ke Timur Tengah dalam beberapa hari terakhir untuk membantu meningkatkan keamanan personel dan fasilitas AS, termasuk kedutaan besar AS di Baghdad dan Beirut. Pasukan tambahan akan memungkinkan militer untuk merespon dengan cepat jika terjadi krisis.
Para pejabat tinggi keamanan nasional AS terus membela klaim pemerintahan Trump bahwa mereka membunuh Soleimani sebagai tanggapan terhadap ancaman potensial warga Amerika, tetapi kurangnya bukti yang diberikan kepada anggota parlemen dan publik telah memicu skeptisisme mengenai apakah serangan itu dibenarkan.
Setelah Iran meluncurkan lebih dari belasan rudal di dua pangkalan Irak yang menampung pasukan AS awal pekan ini, pertanyaan-pertanyaan telah berputar tentang apakah pemerintah sepenuhnya mempertimbangkan dampak dari serangan, dan apakah ada dasar hukum yang tepat untuk presiden memerintahkan serangan terhadap Qassem Soleimani.