TEMPO.CO, Jakarta - Parlemen Irak pada Ahad mendukung rekomendasi yang diusulkan perdana menteri untuk mengeluarkan semua pasukan asing di Irak, setelah Amerika Serikat menewaskan Jenderal Iran Qassem Soleimani dan pemimpin milisi Irak pro Iran.
Sebuah sesi khusus mengeluarkan resolusi yang berisi bahwa pemerintah yang dipimpin Syiah, yang dekat dengan Iran, harus membatalkan permintaan bantuan dari koalisi yang dipimpin AS.
"Terlepas dari kesulitan internal dan eksternal yang mungkin kita hadapi, itu tetap yang terbaik untuk Irak secara prinsip dan praktis," kata perdana menteri sementara Adel Abdul Mahdi, yang mengundurkan diri pada November di tengah demonstrasi massa, dikutip dari Reuters, 6 Januari 2020.
Dia kemudian mengatakan kepada menteri luar negeri Prancis bahwa para pejabat Irak sedang bekerja untuk mengimplementasikan resolusi tersebut.
CNN melaporkan, para pejabat Irak sedang mempersiapkan sebuah memorandum untuk penarikan pasukan asing dari negara itu, kata Perdana Menteri Irak Adil Abdul Mahdi kepada Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian dalam percakapan telepon pada Minggu.
Ribuan orang di Irak berkabung atas kematian pemimpin pasukan elit Iran, Jenderal Qassem Soleimani pada Sabtu, 4 Januari 2020. [ZBC NEWS]
Para pejabat Irak di berbagai departemen pemerintah sedang mempersiapkan sebuah memorandum yang menguraikan langkah-langkah hukum dan prosedural yang diperlukan, untuk mengimplementasikan resolusi Parlemen Irak mengenai penarikan pasukan asing, tulis pernyataan dari kantor perdana menteri.
Sesi pemungutan suara parlemen Irak digelar setelah serangan pesawat drone AS pada hari Jumat di bandara Baghdad menewaskan komandan Pasukan Quds Qassem Soleimani, arsitek Iran untuk memperluas pengaruhnya di seluruh wilayah, dan pemimpin milisi Irak Abu Mahdi al-Muhandis.
Para pemimpin Muslim Syiah oposisi, termasuk yang menentang pengaruh Iran, telah bersatu sejak saat itu untuk mengusir pasukan AS.
Namun, salah satu anggota parlemen Muslim Sunni mengatakan minoritas Arab dan Kurdi Sunni khawatir pengusiran koalisi pimpinan AS akan membuat Irak rentan terhadap pemberontakan, merusak keamanan, dan semakin memberdayakan milisi Syiah yang didukung Iran.
Sebagian besar anggota parlemen Sunni dan Kurdi memboikot sesi tersebut, dan 168 anggota parlemen Irak yang hadir hanya tiga kali lebih banyak dari kuorum.
Iring-iringan kendaraan militer AS melewati wilayah Erbil, Irak, setelah menarik diri dari utara Suriah, Senin, 21 Oktober 2019. REUTERS/Azad Lashkari
Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan "Amerika Serikat kecewa dengan tindakan yang diambil hari ini di Dewan Perwakilan Irak" untuk mengeluarkan pasukan AS di Irak.
Dikutip dari CNN, juru bicara Morgan Ortagus mengatakan AS sedang menunggu klarifikasi lebih lanjut tentang sifat hukum dari resolusi Irak, dan AS berharap Irak akan mempertimbangkan kembali keputusannya.
"Kami sangat mendesak para pemimpin Irak untuk mempertimbangkan kembali pentingnya hubungan ekonomi dan keamanan yang sedang berlangsung antara kedua negara dan terus adanya Koalisi Global untuk mengalahkan ISIS," kata Ortagus.
Terlepas dari beberapa dekade permusuhan antara Iran dan Amerika Serikat, milisi yang didukung Iran dan pasukan AS bertempur di pihak yang sama selama perang Irak 2014-2017 melawan militan ISIS.
Sekitar 5.000 pasukan AS tetap di Irak, sebagian besar dalam kapasitas pembimbing dan instruktur, menurut Reuters.
Banyak warga Irak, termasuk penentang Qassem Soleimani, marah kepada Amerika Serikat karena membunuh Soleimani dan Muhandis di tanah Irak, berpotensi menyeret Irak ke dalam konflik lain.