TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Donald Trump mengatakan serangan terhadap jenderal nomor satu Iran, Mayor Jenderal Qassem Soleimani, adalah tindakan pencegahan teror terhadap Amerika Serikat.
Trump mengatakan Amerika tidak ingin memulai perang dengan Iran dan telah membuka peluang diplomasi. Namun, menurut New York Times, serangan terhadap Jenderal Qassem Soleimani, yang secara de facto adalah tangan kanan Ayatollah Ali Khameini dan orang terkuat kedua di Iran, telah memenuhi syarat perperangan jika melihat secara definisi.
Pertanyaan lain yang muncul adalah: Apakah serangan terhadap Jenderal Qassem Soleimani sah secara hukum?
Tidak seperti membunuh Osama bin Laden atau Abu Bakr al-Baghdadi, membunuh Jenderal Iran sama saja membunuh Ketala Staf Gabungan Militer AS atau Panglima Militer Indonesia.
Dikutip dari New York Times, 4 Januari 2020, pemerintahan Trump mengatakan serangan itu sah berdasarkan UU Kongres tahun 2002 yang mengesahkan invasi ke Irak dan juga masalah pertahanan diri di bawah hukum internasional, dan berdasarkan kekuatan konstitusional presiden sebagai panglima tertinggi.
Serangan itu sangat tidak biasa karena menargetkan seorang pejabat tinggi dalam pemerintahan nasional. Sejak akhir 1970-an, sebuah perintah eksekutif telah melarang "pembunuhan". Namun kendala itu, sementara masih ada di atas kertas, telah terkikis dalam perang melawan terorisme. Tim hukum di bawah presiden berpendapat bahwa istilah "pembunuhan," yang tidak didefinisikan oleh hukum federal atau perintah, tidak mencakup pembunuhan teroris dan orang lain yang dianggap menimbulkan ancaman segera ke Amerika Serikat karena itu akan menjadi pertahanan diri.
Sebelumnya, Trump memasukan Korps Garda Revolusi Iran sebagai organisasi teroris asing, pertama kalinya Amerika Serikat menetapkan organisasi negara lain sebagai teroris.
Tetapi para Demokrat terkemuka mempertanyakan apakah Trump perlu meminta persetujuan kongres untuk serangan itu.
"Masih bisa diperdebatkan apakah ada pembenaran hukum untuk serangan ini," kata Senator Demokrat Chris Murphy dalam konferensi pers pada hari Jumat, dikutip dari Al Jazeera.
"Ini sama dengan Iran yang membunuh menteri pertahanan AS. Jika Iran membunuh menteri pertahanan AS, kami akan menganggap itu sebagai tindakan perang dan kami akan merespons secara tidak proporsional," kata Murphy.
Jawabannya sangat tergantung pada fakta-fakta yang didasarkan keputusan pemerintahan Trump, fakta yang mungkin tidak pernah dipublikasikan.
Presiden AS Donald Trump menyampaikan komentar setelah serangan udara Militer AS terhadap Jenderal Iran Qassem Soleimani di Baghdad, Irak, di Pantai Palm Barat, Florida, AS, 3 Januari 2020. Presiden Donald Trump mengatakan pada hari Jumat ia memerintahkan pembunuhan Qassem Soleimani untuk mencegah perang, bukan memulai perang, mengatakan komandan militer Iran sedang merencanakan serangan terhadap Amerika. [REUTERS / Tom Brenner]
Presiden AS dapat menggunakan kekuatan, singkatnya perang, untuk melindungi kepentingan Amerika sebagai panglima tertinggi berdasarkan Pasal II Konstitusi Amerika Serikat, kata Bobby Chesney, seorang profesor di University of Texas School of Law yang berspesialisasi dalam masalah keamanan nasional.
"Jika faktanya seperti yang dikatakan oleh departemen pertahanan, maka presiden secara relatif jelas memiliki wewenang Pasal II untuk bertindak dalam membela diri kehidupan Amerika," kata Chesney.
Tetapi beberapa analis dan anggota Kongres AS mengatakan Trump tampaknya melewati batas yang diajukan dalam Undang-Undang Kekuatan Perang 1973, dengan mempertaruhkan eskalasi besar dengan Iran. Undang-undang mengatakan bahwa permusuhan berkelanjutan yang menempatkan pasukan AS dalam bahaya memerlukan persetujuan terlebih dahulu oleh Kongres.
"Perang Timur Tengah tidak terjadi secara kebetulan," kata Aaron David Miller, seorang anggota senior di Carnegie Endowment for International Peace di Washington DC.
"Mereka didahului oleh tindakan, salah persepsi sampai satu pihak mengambil langkah baru yang mengangkat hal-hal ke tingkat yang baru, dan itulah pada dasarnya apa arti pembunuhan Soleimani," kata Miller.