TEMPO.CO, Khartoum – Pengadilan di Sudan memutuskan hukuman mati untuk 29 perwira dan agen intelijen, yang terlibat dalam pembunuhan seorang guru Ahmed al-Khair, yang memicu gelombang unjuk rasa besar-besaran.
Demonstrasi yang berlangsung selama beberapa bulan itu berhasil menjatuhkan Presiden Omar al-Bashir.
“Ini kemenangan bagi keadilan. Kemenangan bagi rakyat Sudan dan kemenangan bagi revolusi,” kata Saad, yang merupakan saudara lelaki Ahmed al-Khair seperti dilansir Reuters pada Senin, 30 Desember 2019.
Proses pengadilan terhadap anggota intelijen merupakan cobaan bagi pemerintahan transisi Sudan untuk menghapus jejak militeristik dikator militer Bashir, yang berkuasa dengan dukungan militer dan intelijen.
Pengadilan memutuskan para terdakwa dihukum mati dengan digantung. Namun, putusan pengadilan ini masih bisa digugat lewat upaya banding.
Khair, yang ikut berdemonstrasi menuntut Bashir turun, meninggal di dalam tahanan pada Februari 2019. Petugas intelijen mengatakan korban tewas karena racun.
Namun, proses investigasi menunjukkan korban tewas karena mengalami sejumlah luka parah akibat pemukulan.
Meninggalnya Khair menjadi titik balik demonstrasi 16 pekan, yang berujung dengan jatuhnya Bashir, yang merupakan seorang purnawirawan jenderal lulusan akademi militer Mesir. Dia berkuasa sejak 1989 – 2019.
Ratusan orang berdemonstrasi di depan gedung pengadilan di Omdurman saat putusan dibacakan. Sebagian mengibarkan bendera nasional dan membawa foto Khair.
Asosiasi Profesional Sudan SPA, yang menjadi ujung tombak demonstrasi terhadap Bashir, menyebut putusan pengadilan mengembalikan rasa keadilan.
“Dengan putusan ini, revolusi akan terbayar bagi para martir untuk pertama kalinya. Ini akan mengikuti jumlah martir,” begitu pernyataan SPA.
Hakim menyatakan 27 orang agen intelijen dari Kassala mendapat vonis hukuman mati. Dua agen lainnya dari Khashm al-Qirba juga mendapat vonis serupa oleh pengadilan di Sudan.