TEMPO.CO, Jakarta - Isu penahanan sekitar dua juta warga etnis minoritas Uighur di sejumlah kamp konsentrasi di Provinsi Xinjiang, Cina, semakin menjadi perhatian dunia internasional.
Terlebih setelah DPR Amerika Serikat mengesahkan Undang-Undang Kebijakan Hak Asasi Manusia Uighur pada 3 Desember 2019.
UU itu berisi rekomendasi sanksi terarah pemerintah AS terhadap pejabat pemerintah Cina dan pejabat Partai Komunis Cina. Ada juga rekomendasi pelarangan penjualan produk AS ke agen pemerintah di Xinjiang.
Pada 2020, UU ini masih harus mendapatkan pengesahan dari Senat AS sehingga pemerintah AS bisa mengambil langkah tegas terhadap pemerintah Cina.
Pemerintah Cina bereaksi dengan menyebut UU itu sebagai upaya pencemaran nama baik atas upaya negara komunis ini melakukan upaya kontra-terorisme dan deradikalisasi. Cina menyebut ada gerakan separatisme dan terorisme di Xinjiang.
Pasca keluarnya UU ini, gubernur Xinjiang mengatakan warga Uighur yang mengikuti kamp edukasi telah lulus dan bisa berpergian secara bebas. Selama ini Komisi Tinggi HAM PBB telah meminta akses langsung untuk mengecek kondisi di lapangan kepada pemerintah Cina karena mendapat berbagai laporan negatif soal program itu.