TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Aljazair Abdelmadjid Tebboune pada Sabtu, 28 Desember 2019, menunjuk seorang profesor di Universitas dan mantan diplomat Abdelaziz Djerad, 65 tahun, sebagai Perdana Menteri Aljazair yang baru. Penunjukan itu menandai dibentuknya sebuah pemerintahan Aljazair yang baru untuk menangani kegaduhan politik dan ekonomi yang melemah.
Dikutip dari reuters.com, Djerad pernah menjadi abdi negara pada presiden Aljazair sebelumnya pada 1990-an, namun disingkirkan oleh mantan Presiden Abdelaziz Bouteflika, yang sudah dikudeta pada April 2019 lalu setelah berkuasa di negara itu selama dua dekade.
Abdelaziz Djerad, Perdana Menteri Aljazair. Sumber: archyde
Djerad sempat berbicara dimuka publik beberapa kali saat gelombang unjuk rasa menuntut Bouteflika mundur. Ketika itu, Djerad mendukung tuntutan demonstran agar Bouteflika dan sekutu-sekutunya mengundurkan diri.
Sedangkan Tebboune adalah mantan Perdana Menteri Aljazair sebelum menduduki kursi presiden. Dia memenangkan pemilu Aljazair dengan 58 persen suara pada 12 Desember 2019 di tengah-tengah gelombang protes dan ancaman boikot pemilu.
Kubu oposisi mengatakan meskipun Tebboune memenangkan pemilu, pada akhirnya kekuasaan pemerintahan akan berada di militer. Namun Panglima Militer Aljazair, Ahmed Gaed Salah, pada Senin, 23 Desember 2019 akibat serangan jantung mendadak.
Kondisi ini membuat Aljazair untuk pertama kali setelah puluhan tahun diselimuti krisis politik, akan berada di bawah kepemimpinan presiden yang baru, perdana menteri baru dan panglima militer yang akan segera ditunjuk. Aljazair saat ini menghadapi neraca perdagangan dan fiskal yang terus menurun setelah bertahun-tahun turunnya harga energi.
Dengan kondisi Aljazair yang sebagian besar mengandalkan ekspor energi sebagai pemasukan negara, pemerintahan yang baru dituntut untuk membuat pemangkasan. Anggota parlemen dan pemerintah Aljazair sebelumnya sudah setuju untuk memangkas anggaran pengeluaran negara pada 2020 sebanyak 9 persen.