TEMPO.CO, Seoul – Pemerintah Korea Utara, yang dipimpin Kim Jong Un, memperingatkan Amerika Serikat agar tidak meningkatkan ketegangan.
Pyongyang juga mengatakan Washington bakal membayar mahal jika mengritik rekam jejak Hak Asasi Manusia.
Saat ini, proses negosiasi denuklirisasi AS dan Korea Utara mengalami kebuntuan.
“Itu seperti menuang minyak ke api yang menyala,” kata juru bicara kementerian Luar Negeri Korea Utara seperti dilansir kantor berita KCNA dan dikutip Channel News Asia pada Sabtu, 21 Desember 2019.
Pernyataan ini sebagai respon terhadap keprihatinan yang dilontarkan pejabat AS soal situasi HAM di Korea Utara.
Selama ini, komunitas internasional telah mengecam negara komunis itu berulang kali atas tindakan represi. Korea Utara juga dinilai terlalu mengutamakan pembangunan kekuatan teknologi militer dan program nuklir dibandingkan mengurus perekonomian masyarakat.
Sidang Umum Perserikatan Bangsa – Bangsa pada pekan ini juga mengecam catatan pelanggaran HAM di Korea Utara, yang dinilai berlangsung terus menerus, sistematis, menyebar dan kotor.
Negosiasi antara AS dan Korea Utara mengalami kebuntuan sejak gagalnya pertemuan Presiden Donald Trump, dan pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un, di Hanoi pada Februari 2019.
Pyongyang memberi tenggat akhir 2019 kepada AS untuk membuat tawaran yang bisa diterima. Jika tidak, Korea Utara akan mengambil langkah baru.
Rezim Kim Jong Un, seperti dilansir Reuters, sempat menyiratkan akan memberi AS hadiah Natal pada Desember 2019 jika tidak ada konsesi yang dibuat. Korea Utara sempat meminta pencabutan sebagian sanksi ekonomi kepada Trump saat bertemu di Hanoi. Namun, Trump menolak dan meminta Kim Jong Un untuk melakukan denuklirisasi tuntas agar sanksinya dicabut.