TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Filipina memvonis penjara seumur hidup kelompok klan politik yang menjadi dalang pembantaian 58 orang pada tahun 2009.
Delapan anggota keluarga Ampatuan yang kuat termasuk di antara 28 orang yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas peran mereka dalam penyergapan terhadap iring-iringan kampanye pilgub di provinsi Maguindanao. Mereka membunuh semua saksi mata yang menyaksikan pembantaian tersebut.
Di antara para korban pembantaian yang dikenal sebagai Pembantaian Maguindanao adalah 32 jurnalis, yang tercatat sebagai satu serangan terparah kepada awak media, dikutip dari Reuters, 19 Desember 2019.
Ampatuan bersaing dengan Mangudadatu dalam pemilihan gubernur. Konvoi kampanyenya diserang saat siang hari oleh pasukan pribadi Ampatuan.
Para korban dieksekusi di samping jalan pedesaan, sebelum dikuburkan bersama kendaraan mereka di lubang besar yang digali oleh buldoser.
Pembantaian itu merupakan contoh terbesar kekerasan pemilu di Filipina, di mana pembunuhan biasa terjadi dalam politik provinsi, terutama di Mindanao.
Dinasti politik Ampatuan adalah dinasti dengan koneksi politik yang kuat dan berkembang hingga Presiden Gloria Macapagal Arroyo.
Anggota Biro Investigasi Nasional Philipina memborgol Andal Ampatuan Jr., sebelum membawanya ke pengadilan di Quezon City, terkait kasus pembunuhan 57 orang akhir November 2009 (20/1). REUTERS/Romeo Ranoco
Lima belas terdakwa lainnya dipenjara pada hari Kamis karena membantu pembantaian, sementara 56 lainnya dibebaskan. Tujuh kasus dibatalkan, salah satunya setelah kepala keluarga Andal Ampatuan meninggal di penjara karena serangan jantung pada 2015.
Salvador Panelo, juru bicara Presiden Rodrigo Duterte, mengatakan putusan itu harus dihormati dan pembantaian itu adalah kekejian terhadap umat manusia dan tak boleh lagi terjadi.
80 dari 197 tersangka masih bebas berkeliaran, termasuk 12 anggota keluarga Ampatuan, yang menimbulkan kekhawatiran bahwa saksi dan keluarga korban mungkin tidak akan pernah aman.
"Kasus ini memiliki jalan panjang," kata Esmael Mangudadatu, seorang anggota kongres yang istrinya ditembak puluhan kali selama pembantaian. "Tapi setidaknya kita memiliki kemenangan parsial."
Persidangan melibatkan 357 saksi dan 238 dokumen, dan berlangsung sampai sepuluh tahun dengan banyak waktu yang hilang karena pertimbangan atas permintaan uang jaminan. Aktivis mengatakan beberapa saksi juga dibunuh.
Amnesty International memuji putusan tersebut sebagai langkah positif tetapi mengatakan para tersangka pada umumnya harus dituntut dan divonis.
Human Rights Watch mengatakan putusan itu harus memacu lebih banyak reformasi untuk meminta pertanggungjawaban, dan melarang milisi di Filipina.