TEMPO.CO, Jakarta - Donald Trump menjadi presiden ketiga dalam sejarah Amerika Serikat yang dimakzulkan, setelah DPR AS mengesahkan dua pasal pemakzulan Trump. Pemakzulan diartikan sebagai proses hukum untuk memecat presiden dari jabatannya, yang berarti pemecatan Donald Trump baru akan terjadi setelah Senat memvonis Trump.
Ketua DPR AS Nancy Pelosi, berbicara tepat setelah DPR memakzulkan Presiden Trump, mengatakan hari ini adalah "hari yang baik untuk Konstitusi" tetapi "hari yang menyedihkan bagi Amerika", dikutip dari CNN, 19 Desember 2019.
"Saya tidak bisa lebih bangga atau lebih terinspirasi oleh keberanian moral dari Demokrat di DPR. Kami tidak pernah bertanya kepada salah satu dari mereka bagaimana mereka akan memilih. Kami tidak pernah terpaksa memilih ini," katanya.
"Saya melihat hari ini, pemungutan suara ini, sebagai sesuatu yang kami lakukan untuk menghormati visi pendiri kami untuk mendirikan republik, pengorbanan pria dan perempuan berseragam untuk mempertahankan demokrasi dan republik kami, dan aspirasi anak-anak kami yang mereka akan selalu hidup dalam demokrasi, dan kami telah berusaha melakukan segala yang kami bisa untuk memastikan bahwa itulah kenyataan mereka," lanjut Pelosi.
Ketua DPR Nancy Pelosi berbicara menjelang pemungutan suara atas dua pasal pemakzulan terhadap Presiden AS Donald Trump di Capitol Hill di Washington, AS, 18 Desember 2019. [House TV via REUTERS]
NBC News melaporkan DPR AS mengesahkan dua pasal pemakzulan Trump dengan 229 banding 198 suara, menuduh Trump merintang penyelidikan Kongres dan penyalahgunaan kekuasaan.
Dakwaan menuduh Trump menentang subpoena yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang dikeluarkan oleh Kongres. Dakwaan juga menuduh Trump mengarahkan Gedung Putih dan lembaga-lembaga lain untuk menentang panggilan dari pengadilan dan menahan dokumen, dan tidak mengizinkan pejabat pemerintahan untuk bersaksi.
"Dalam sejarah Republik, tidak ada presiden yang pernah memerintahkan penolakan penuh terhadap penyelidikan pemakzulan atau berusaha menghalangi dan menghambat wewenang Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyelidiki kejahatan tinggi dan pelanggaran ringan," tulis pasal pemakzulan tersebut.
Dikutip dari New York Times, DPR AS menuduhnya dengan "kejahatan tinggi dan pelanggaran ringan" dan menjadikannya satu-satunya presiden ketiga dalam sejarah Amerika yang menghadapi sidang pemakzulan di Senat setelah Andrew Johnson pada 1868 dan Bill Clinton pada 1998, sementara Richard Nixon mengundurkan diri sebelum pengesahan dakwaan pemakzulan pada 1974 di DPR.