TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia mendorong reformasi di badan Dewan Keamanan PBB, DK PBB karena dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan tantangan saat ini.
Menurut Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Febrian Alphyanto Ruddyard, perlu ada reformasi di DK PBB yang arsitekturnya dibangun tahun 1945.
Dan, reformasi ini tidak lagi sekadar ucapan atau keinginan, karena sudah berjalan dengan pendekatan negosiasi informal.
"Kami ingin Indonesia ikut mendukung proses reformasi sementara kita ada di dalam (Indonesia saat ini menjadi anggota tidak tetap DK PBB). Kita tahu situasi di dalam," kata Ruddyard dalam kepada wartawan saat memaparkan capaian diplomasi multilateral Indonesia 2019 dan proyeksi program flagship 2020 di Jakarta, Senin, 16 Desember 2019.
Ruddyard menjelaskan, ada 5 masalah penting yang sudah disepakati untuk reformasi DK PBB. Kelima masalah ini harus dibahas dalam satu paket.
Kelima masalah yang sudah disepakati untuk
1. kategori keanggotaan DK PBB, siapa yang menjadi anggota tetap dan yang tidak tetap.
2. Jumlah perwakilan dari setiap kawasan.
3. Hak veto. Sejak awal PBB berdiri tahun 1945, hak veto hanya dimiliki 5 negara yakni Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Rusia, dan Cina.
"Ini menarik, veto mau diapakan," kata Ruddyard.
"Masalahnya veto nga bisa diubah, kalau veto diubah berarti harus mengubah Charter (Piagama PBB) dan butuh ratifikasi dari 5 negara besar itu. Hak veto dihapus, tidak masuk akal."
4. Hubungan DK PBB dengan Majelis Umum. Selama ini, jika DK PBB menangani satu isu, maka Majelis Umum PBB tidak boleh lagi membahas isu tersebut.
Sebagai catatan, keduanya memiliki kewenangan mengeluarkan resolusi terhadap satu masalah, namun hanya resolusi yang dikeluarkan DK PBB yang mengikat anggota secara hukum, yakni berupa sanksi terhadap negara yang melanggar aturan yang disepakati PBB.
5. Jumlah anggota DK PBB saat ini 15 negara. Dengan mencermati situasi sekarang, sedang dibahas apakah jumlahnya perlu ditambah misalnya menjadi 22 negara.
Untuk mendorong reformasi DK PBB, Indonesia mengedepankan pembahasan secara informal untuk menemukan titik temu di antara negara-negara yang diajak berdiskusi.
"Diskusi akan berjalan panjang, lama, tidak formal, dan tidak mengarah pada hasil," ujar Ruddyard.
Beberapa tawaran Indonesia terkait dengan 5 masalah yang dihadapi dalam reformasi DK PBB, di antaranya tentang hak veto. Indonesia menawarkan penggunaan hak veto oleh 5 negara besar itu dibatasi untuk isu tertentu saja.
Tentang keanggotaan DK PBB, Indonesia menawarkan gagasan agar anggota tidak tetap dengan kriteria tertentu diberi masa keanggotaan yang lebih lama dibandingkan negara lainnya dan tanpa memiliki hak veto. Negara tersebut akan menjadi penghubung antara 5 negara pemilik hak veto dan anggota tidak tetap yang masa kerjanya hanya 3 tahun.
Ruddyard mengatakan hambatan reformasi DK PBB ini akan datang dari masalah nomor 1 dan 3. Untuk itu, Indonesia dan negara-negara lain yang mendukung reformasi DK PBB memilih melakukan pendekatan secara informal dan sebagai konsekwensinya, butuh waktu lama untuk dapat mewujudkan reformasi DK PBB.