TEMPO.CO, Jakarta - Gereja Katolik di Irak tidak merayakan Natal secara meriah dan terbuka tahun ini, termasuk tidak ada dekorasi Natal di gereja maupun di jalan-jalan. Hal ini dilakukan sebagai wujud duka mendalam dan hormat terhadap ratusan orang yang tewas dan terluka saat berunjuk rasa menentang pemerintah selama sebulan terakhir.
"Tidak akan ada dekorasi pohon Natal di dalam gereja atau di jalanan, tidak ada perayaan dan resepsi di wilayah gereja," kata Louis Raphael Sako, Kepala Komunitas Gereja Katolik Irak dalam pernyataan resminya, sebagaimana dilaporkan albawaba.com, 4 Desember 2019.
Setahun lalu, pemerintah Irak meresmikan hari Natal sebagai hari libur Nasional. Ini untuk pertama kali terjadi di negara dengan penduduk mayoritas Muslim Shiah. Umat Kristen merupakan minoritas di Irak.
Adapun pengumuman Gereja Katolik tidak merayakan kemeriahan Natal tahun ini karena Irak diguncang unjuk rasa besar-besaran di Baghdad dan sejumlah kota di wilayah selatan. Bentrokan antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata dalam unjuk rasa itu telah menewaskan sedikitnya 430 orang dan 20 ribu orang terluka.
Menurut Sato, umat Katolik ingin membangun solidaritas dengan keluarga korban yang menderita.
Paus Fransiskus pada hari Minggu lalu, mengecam tindak kekerasan terhadap para pengunjuk rasa di Irak. Jumlah korban tewas semakin banyak sekalipun perdana menteri Irak sudah menyatakan mundur dari jabatannya.
"Saya mengikuti situasi di Irak dengan prihatin. Dengan rasa sakit saya mencermati unjuk rasa beberapa hari terakhir yang disambut dengan tindakan keras yang menimbulkan puluhan korban," kata Paus Fransiskus.
Pemimpin umat Katolik se dunia ini berencana berkunjung ke Irak tahun 2020. Jumlah umat Katolik di Irak hanya berkisar ratusan ribu orang. Perang yang berkecamuk di Irak selama bertahun-tahun membuat umat Katolik melarikan diri dan hanya tinggal sepertiga dari 1,5 juta umat Kristen yang bertahan tinggal di negara itu. Kebanyakan mereka tinggal di Baghdad dan provinsi Ninive.