TEMPO.CO, Hong Kong – Otoritas Hong Kong mengizinkan unjuk rasa pada akhir pekan ini, yang bakal diwarnai ekspresi kemenangan gerakan pro-Demokrasi.
Panitia demonstrasi, The Civil Human Rights Front, mengatakan izin diberikan oleh polisi untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia pada Ahad, 8 Desember 2019.
Kelompok ini pernah menggelar aksi warga turun ke jalan pada Juni 2019, yang diperkirakan diikuti oleh sekitar satu juta orang.
Selama enam bulan terakhir, unjuk rasa yang terjadi cenderung berlangsung anarkis dan kerap diwarnai bentrokan antara polisi dan demonstran.
Ini membuat otoritas Hong Kong kerap menolak memberikan izin demonstrasi karena alasan demon kerap berlangsung secara kekerasan.
Unjuk rasa ini, seperti dilansir Channel News Asia, dipicu upaya pengesahan RUU Ekstradisi, yang ditolak warga Hong Kong.
Warga menolak pengesahan RUU ini karena bisa membuat mereka diadili di Cina. Meski RUU itu telah ditarik dari parlemen, warga Hong Kong terus berunjuk rasa menuntut penerapan sistem demokrasi secara penuh untuk menangkal campur tangan pemerintah Cina, yang membantah melakukan intervensi.
Hong Kong diserahkan Inggris ke Cina pada 1997 setelah sempat menguasainya selama 99 tahun. Ada kesepakatan antara Inggris dan Cina bahwa Hong Kong akan tetap menganut sistem demokrasi.
Pada pekan lalu, pemerintah Amerika telah mengesahkan Undang-Undang HAM dan Demokrasi Hong Kong. Ini merupakan bentuk dukungan hukum kepada wilayah semi-otonom itu agar tetap memiliki status otonomi meski diperintah Cina.